40. Fakta

498 99 88
                                    


"Gue minta maaf, ngebuat lo dan Senja jadi renggang," sesal Langga, "lo boleh pukul gue kalau mau."

Helen tersenyum, Langga memang seseorang yang layak disukai oleh siapapun. Cowok itu tidak malu mengakui kesalahan, walaupun itu bukan kesalahannya sepenuhnya.

"Permintaan maaf diterima!"

"Sebenernya ini juga bukan salah lo, dari awal lo udah jelas ngasih tau kalau gue sama sekali nggak ada kesempatan. Tapi guenya aja yang bebal," lanjut Helen.

Helen selalu menyadari penolakan Langga, tapi ia memilih tidak berhenti. Sesungguhnya, dengan mengejar Langga, membuat Helen merasa seperti remaja SMA pada umumnya. Untuk sejenak ia melupakan tentang Jennie dan dunianya yang kelam.

"Lo tau nggak, dulu, gue hampir nerima lo."

Pernyataan Langga sukses membuat Helen kaget. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Hah?"

"Seperti yang semua orang setujui, lo cantik dan menarik. Bahkan gue yakin, semua cowok di sekolah juga suka sama lo, dan kebetulan dulu gue juga termasuk di dalamnya."

Helen terdiam, mendengarkan si dingin Langga mulai bercerita. "Sekitar semester satu kelas sepuluh, gue hampir aja mau terima lo jadi pacar gue. Tapi ... gue sadar, lo suka sama orang lain, Len."

"Emang ada yang gue sukai lebih dari lo??" Helen tak mengerti dengan maksud Langga.

"Lo nggak sadar dengan perasaan lo sendiri. Mungkin karena terhalang tembok yang kalian bangun dengan kata 'persahabatan'."

"Lo emang suka sama gue, tapi orang yang lo cintai dari awal bukan gue, Len. Orang itu Ares, sejak awal selalu Ares. Lo cuma selalu menutupi fakta itu," tambah Langga.

Sedangkan Helen terdiam, memeriksa perasaannya. Apakah yang di katakan Langga benar adanya. Entahlah, Helen tidak bisa memastikan itu. Namun satu hal yang pasti, jikalau memang perasaan untuk Ares masih ada, tak ada yang bisa Helen lakukan. Ia sadar, Ares bukanlah orang yang bisa ia miliki.

"Gue nggak tau perasaan gue sendiri. Lucu ya." Helen tersenyum kecut, menertawai kehidupannya yang tak pernah ada yang sesuai dengan keinginannya.

Langga menatap Helen yang kini sedang memandang langit. Walaupun bibirnya sedang mnenyunggingkan senyum, tapi matanya jelas tak bahagia. Si Ice Prince itu tak tau gemuruh apa yang sedang melanda kehidupan salah satu sahabatnya itu, tapi ia berharap gadis itu menemukan kebahagiaannya. Sungguh, Helen layak untuk bahagia.

"Makasih, Lang! Lo udah bikin masa SMA gue begitu berwarna," ujar Helen dengan senyum manisnya. Sejujurnya ia mencoba mengalihkan perhatiannya yang mulai berpusat pada Ares di otaknya.

"Harusnya gue yang terima kasih. Karna lo, masa SMA gue lebih tenang."

"Kok gitu?" tanya Helen bingung.

"Lo tau kan gue ganteng. Tanpa lo, kehidupan SMA gue pasti jauh lebih berisik. Harus gue akuin, lo emang berbakat kalau ngusir cewek-cewek berisik," terang Langga. 

Helen tidak dapat menahan senyumnya kala mengingat tatapan tajamnya kepada cewek mana pun yang mendekati Langganya.

"Gue dulu extrem banget ya," kekeh Helen,
"Oh ya, tentang Senja, gue harap kalian bisa bareng tanpa mikirin gue. Lo harus tembak dia, Lang!"

Langga mengangguk. "Thanks, gue berpikir bakal nembak dia saat gue keterima di SNMPTN."

"Gue nggak tau rencana apa yang tersusun di otak lo, tapi gue akan berdoa semoga lo keterima."

Malam itu, dilalui keduanya dengan berbicara panjang lebar, layaknya sepasang sahabat yang sudah lama tak bertemu. Ditemani cahaya bintang yang redup di langit Jakarta, mereka mulai terbuka satu sama lain.

Be Happy! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang