10. Seandainya

912 228 153
                                    

BUDAYAKAN VOTE SEBELUM BACA YAAAA...

***

Hampir 2 bulan sejak pertama kali empat orang berbeda karakter itu bertemu. Namun, keinginan Helen untuk menjadikan Senja sebagai temannya belum terpenuhi. Padahal ia sangat ingin berteman dengan gadis pendiam tanpa ekspresi itu.

Senja benar-benar susah didekati, hingga Helen merasa, mendekati Langga lebih mudah ketimbang si poker face itu. Langga masih bisa berekspresi kepadanya—walaupun kebanyakan ekspresi kesal— sedangkan Senja sama sekali tidak.

Jika dilihat dari sisi Senja, ia juga heran kenapa gadis seperti Helen sangat gencar mendekatinya. Ia merasa tidak punya sesuatu yang spesial untuk berteman denganya. Perasaan curiga jelas pernah singga di hatinya, ditambah lagi trauma yang disebabkan kejadian kelas sepuluh, membuatnya sampai saat ini belum menyambut niat baik Helen.

Jujur saja, selama 2 bulan terakhir Senja merasa terusik dengan upaya Helen mendekatinya. Apalagi disadari gadis itu kalau kini hari-harinya di sekolah sedikit berwarna. Diawali dengan sapaan ceria dari Helen, lalu percekcokan lucu antara Helen dan Ares, sampai kejengkelan Langga terhadap Helen. Semua itu hal baru dan cukup memyenangkan bagi Senja.

Sebagiandiri Senja ingin mencoba membuka hatinya, tapi sebagiannya lagi takut kalau ia akan terluka.

"Kak, rotinya gosong tuh!" suara Bagas menyadarkan Senja dari lamunannya.

Senja sedikit tersentak dan melihat rotinya yang mulai menghitam. "Ahh!" Dengan cepat Senja membuang rotinya dan mamanggang yang baru.

Menu hari ini adalah sandwich telur dan ayam dengan saus Almond spesial buatannya. Setelah rotinya dirasa suda kecoklatan, Senja mengolesinya dengan saus spesial yang sudah ia buat semalam.
Setelah itu di atasnya diberi selada, ayam (yang telah dibumbui dengan saus Almond), tomat, keju sliced, dan telur yang sudah diberi bawang. Langkah terakhir, ia menutup tumpukan itu dengan roti panggang lagi.

Karena sandwich yang ia buat akan jadi bekal sekolah, maka Senja membalutnya dengan plastik wrap. Baru setelah itu ia potong menjadi dua.

Bagas dengan lahap menyantap masakan kakaknya, Senja menatap adiknya senang. Ia sangat suka melihat orang-orang dengan lahap memakan masakannya.

"Bagas!" panggil Senja ragu.

Sejak kemarin, Senja menimbang-nimbang apakah ia harus memberi tahu tentang Helen. Ia sungguh butuh pendapat seseorang, dan mungkin Bagas bisa jadi penasehat yang baik baginya.

"Kenapa, kak?"

"Di kelas—"

Belum sempat Senja meneruskan kalimatnya Bagas dengan emosi memotong ucapannya.

"—Kenapa? ada yang ganggu kakak lagi?"

Kalau tentang sang kakak Bagas memang sedikit sensitif, mengingat kejadian di kelas 10. Saat itu Bagas sangat emosi, rasanya ia ingin membakar sekolah itu. Bisa-bisanya mereka percaya kalau kakaknya adalah seorang pembully.

"Bukan, bukan!" Senja segera mengusir pikiran buruk di otak Bagas.

Bagas sangat bersyukur kalau pikirannya ternyata salah. Adik Senja iti sangat tau jika kakaknya memang sedikit kesusahan untuk merangkai kata. Jadi, ia menunggu dengan tenang untuk sang kakak melanjutkan ucapannya. Lagi pula ini masih jam setengah enam, waktu mereka cukup banyak untuk bicara.

"Hmmm ... jadi di kelas ...." Senja berhenti sejenak sebelum meneruskan kalimatnya. "Ada yang mau jadi temen kakak"

"Bagus dong, terus?" tanya Bagas mencoba mengorek lebih dalam maksud Senja.

Be Happy! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang