46. Dilema

479 86 84
                                    

"Bagas, tangkep!" Helen melemparkan paper bag dan langsung ditangkap oleh Bagas.

"Apaan, nih?" Bagas dengan antusias membuka pemberian Helen.

"Hadiah," jawab Helen seraya tersenyum puas melihat raut bahagia Bagas.

"Ini beneran buat gue?" tanya adik Senja ketika memegang dompet bermerek Burberry.

Helen mengangguk. "Beneran, dong! Ini ucapan terima kasih karena kemarin lo maju jadi keluarga gue."

Saat wisuda dua hari lalu, nama Helen, Ares, dan Langga, beserta tujuh orang lainnya dipanggil untuk maju ke depan.
Mereka masuk sepuluh besar dengan nilai terbaik di seluruh sekolah. Tidak hanya itu, mereka juga dianggap membawa nama baik sekolah karena masuk dua puluh besar di seluruh Indonesia.

Bisa dibayangkan bagaimana gelisahnya seorang Helen, saat wali murid turut dipanggil untuk penyerahan piala dan piagam. Namun, dengan santainya, remaja yang umurnya baru 16 tahun itu maju ke depan. Dengan bangga ia mengaku sebagai adik Helen.

Bagaskara membuktikan kalau ia tidak mengingkari janjinya, ia akan jadi adik sungguhan untuk Helen. Kala itu Helen kaget luar biasa, gadis itu bahkan hampir menangis untuk ke sekian kalinya.

Di acar wisuda kemari, banyak pelajaran yang bisa Helen petik. Dirinya memang si Simpai Keramat yang tak lagi punya keluarga, tapi ia tidak pernah sendirian. Banyak orang di sampingnya, saling berbagi tangis, tawa, dan pelukan.
Helen kini mengerti, bahwa kata keluarga tak datang hanya karena ikatan darah. Yang saling peduli dan menguatkan juga layak disebut keluarga.

"Ini ORI nggak?" Pertanyaan kurang ajar dari Bagas membuat Helen tersadar dari lamunannya.

"Menurut lo, gue ngasih yang nggak ORI gitu?" sahut Helen sedikit sewot.

"Kalau ORI kan mahal banget. BTW, thank's banget, Kak!" Bagas sangat tau merek ini sangat mahal karena teman-temannya sering menggunakannya.

"Awas aja kalau lo jual!" ancam Helen yang dibalas kekehan oleh Bagas.

Senja datang dari arah dapur dan bergabung dengan mereka. "Wih, dompet baru?"

"Iya, pemberian dari Kak Helen. Tau aja dompet gue udah bolong." Bagas memamerkan dompet warna hitamnya dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya.

"Dalam rangka?" tanya Senja lagi.

"Dalam rangka ... jadi adik yang baik," jawab Helen semangat.

"Iya, deh ... ." Senja lalu bertanya pada Bagas, "Dek, nanti jadi ikut nggak?"

Belum sempat Bagas menjawab, Helen menyahuti pertanyaan Senja. "Kalian mau ke mana?"

"Bang Jo bilang ada kontrakan yang lumayan, jadi kita mau lihat. Mau ikut?"

Ajakan Senja sangat menggiurkan, tapi Helen melihat tumpukan buku SBM di atas meja. Walaupun memuakkan, tapi ia harus memahami setiap butir soal di buku itu.
Kadang, saat mengerjakan soal-soal itu, Helen berpikir untuk apa semua usahanya ini. Untuk suatu alasan, ia sedikit bimbang.

Apa benar ini semua untuk bahagianya di masa depan?
Atau justru karena ini hanya keharusan yang wajib ia lakukan? Sebenarnya apa keinginannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu kadang berputar di otak Helen. Dan yang membuat sedih adalah, ia tidak benar-benar tahu jawabannya. Apa yang membuatnya bahagia dan berdebar, si It Girl itu masih belum menemukannya.

Lagi-lagi Senja menemukan Helen yang terdiam dan mematung. Senja menepuk pelan pundak Helen, hingga sahabatnya itu tersadar dari lamunannya. "Len?"

"Hah? Kenapa, Sen?" ucap Helen belingsatan.

Be Happy! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang