28. Sesak

641 117 139
                                    

Helen tengah duduk di kursi Bandara sambil menunggu ada pemberitahuan tentang pesawatnya.

"Perhatian, perhatian! Para penumpang pesawat udara Indonesia dengan nomor GA enam tiga satu tujuan Bali, dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu nomor satu."

Sontak saja Helen memeriksa tiket pesawatnya, dan ternyata benar itu adalah nomor penerbangannya. Gadis itu menarik kopernya menuju pintu nomer satu, sesuai dengan arahan.

Di tengah perjalanannya, ponsel Helen berbunyi. Melihat nama Ares tertera di layar, Helen menjawab telfon itu seperti biasa.

“Halo, Res! Kenapa?”

"Ke rumah sakit sekarang ya, Oma ...?" Di seberang sana Ares menggantung kaliamatnya, Helen bisa mendengar nafas berat dari sahabatnya itu. "Pulang," lanjut Ares.

Langkah Helen berhenti, jantungnya berdebar sekarang. "Maksud lo, Oma uda sadar, Res? Oma uda boleh pulang?" pekiknya gembira.

"Lo balik aja dulu, nanti gue jelasin."
Suara Ares terdengar tidak begitu baik di telinga Helen kala mengabarkan berita yang menurutnya baik. Membuat Helen dilanda merasa tidak enak.

"Res, Oma baik-baik aja, kan?" tanya Helen memastikan sekali lagi.

Ares tidak menjawab, ia hanya mengatakan sesuatu yang membuat Helen semakin bingung.

"Cepet balik ya, gue tunggu!"

Setelah mengatakan itu Ares mematikan panggilannya. Entah kenapa dada Helen tiba-tiba terasa penuh sesak. Gadis menyandang julukan It Girl itu segera berlari meninggalkan bandara, ia tidak peduli dengan beberapa orang yang tertabrak olehnya.

Air matanya mengalir, seakan-akan gadis itu tau apa yang sedang terjadi saat ini. Padahal, Ares bahkan belum mengatakan apa pun padanya. Entah apapun itu, Helen hanya ingin cepat bertemu omanya.

Sesampainya di rumah sakit, Helen melihat Ares di depan ruang rawat omanya. Sahabatnya itu tengah duduk merosot dengan air muka yang tidak disukai Helen.

"Kenapa lo nangis? Oma mana, Res? Oma baik-baik aja, 'kan?" Rentetan pertanyaan itu tak dijawab oleh Ares.

Si Mr. Perfect itu malah memeluk Helen. Ares mencoba menyalurkan kekuatan sebanyak yang ia bisa pada sahabatnya itu, karena ia yakin, info yang akan ia ucapkan sebentar lagi akan membuat gadis itu hancur.

Helen melepaskan pelukan Ares, ia melangkah ke dalam ruang rawat yang selama 2 tahun ini menjadi rumah keduanya. Omanya masih sama seperti sebelum-sebelumnya yang hanya berbaring di ranjangnya dengan mata tertutup. Hanya saja, Helen melihat sebuah perbedaan yang membuatnya seakan tercabik-cabik.

Ia tak lagi  melihat puluhan kabel yang ditancapkan dokter ke tubuh sang Oma. Suara dari monitor yang bunyinya sangat menyebalkan itu pun kini tak bersuara. Semua yang menunjang kehidupan omanya lenyap, dan itu berarti ...

Helen menggeleng, mencoba membuang kemungkinan-kemungkinan negatif yang sekarang memenuhi otaknya.

"Oma ...," panggil Helen.

Tak peduli sebanyak apapun Helen menyangkal, tapi tetap saja gadis itu merasa tidak enak. Dadanya sakit seperti dihantam godam. Ia kini memberanikan diri mendekat dan menggenggam tangan Omanya. Tangan yang beberapa jam lalu ia sentuh dan masih terasa hangat kini mendingin.

"Oma ... Oma bangun, yuk! Kata Ares Oma boleh pulang. Kita pulang ... ayo ...," ucap Helen pilu.

Ia harap semua yang di dalam pikirannya tidak benar. Omanya tidak akan meninggalkannya sendiri, itulah yang di percayai Helen.

Be Happy! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang