I'm afraid my feelings burden him

3.1K 492 15
                                    

Entah sudah berapa menit Jian menghentikan langkahnya di bawah pohon mangga di dekat halte sekolah. Matanya memandang lurus ke depan, memperlihatkan seorang lelaki yang sedang berjongkok dengan seekor kucing di depannya.

Itu Harraz.

Bisakah lelaki itu biasa saja, jangan kelihatan seperti lelaki yang sangat baik begini. Jian jadi berfikir lagi apakah boleh move on atau lanjut menjadi pelakor seperti yang Wella tawarkan tempo hari.

Ck, Tampaknya Jian sudah tidak waras.

Menarik nafasnya sesaat, Jian kembali melangkah menuju sekolah, meninggalkan Harraz yang menoleh sebentar pada orang yang memperhatikannya tadi.

"Selamat pagi, Jian." Sapa Wella.

Jian tersenyum, "Selamat pagi." Matanya melihat sekitar, tampak aneh karna pagi ini Wella datang sendirian, tidak bersama dua sohibnya Jendra dan David. "Sendirian aja? Jendra sama David mana?"

Wella mengangkat bahunya acuh, "Gak tau. Tadi gue disuruh berangkat duluan."

Baru saja hendak masuk ke kelas, Jian dibuat berhenti dengan tiba-tiba Wella memegangi tas ranselnya, "Temenin gue ke kantin bentar, yuk?"

Memilih untuk menurut saja, Jian ikut bersama Wella ke kantin, sekalian dirinya mau membeli roti dan susu kesukaannya.

Suasana kantin lumayan ramai, banyak siswa yang memilih sarapan di sekolah karna menu makanan yang sangat beragam, ditambah lagi siswa yang hanya duduk-duduk sambil menunggu bel masuk.

Jian langsung mengambil sekotak susu dan sebungkus roti, segera membayarnya dan kembali pada Wella yang masih terdiam lama, mungkin sedang berfikir akan membeli roti rasa apalagi hari ini.

"Bentar ya, Jian." Katanya, dan Jian mengangguk mengiyakan, tidak masalah menunggu gadis ini sebentar lagi.

Wella mengambil roti rasa coklat dan mocca, tangannya juga mengambil satu botol air putih, dan satu botol minuman penambah ion, tak lupa juga coklat batangan, lalu tangannya beralih mengambil Cola. Jian hanya geleng-geleng melihatnya, toh pasti nanti akan gadis ini bagikan juga, tak akan ia makan sendirian.

Sedang memperhatikan Wella, tiba-tiba pandangan Jian teralihkan dengan Harraz yang semakin mendekat, mata Jian membola, ingat kalau Wella ini juga teman Harraz.

Tanpa babibu lagi Jian berbalik meninggalkan kantin, dan juga meninggalkan Wella tentunya.

Harraz memang mendekati Wella ketika melihat gadis itu berdiri sendirian, melihat ibu kantin menghitung jajanannya. "Pagi bestie." Sapa Harraz membuat Wella melihatnya.

"Pagi juga." Wella balas menyapa, lalu gadis itu mengeluarkan satu lembar uang seratus ribuan untuk membayar. "Pacar lo mana? kok cuma sendirian, biasanya lo berdua udah dari subuh di sekolah."

Harraz tertawa mendengarnya, temannya ini sering sekali mengejeknya, dan bukan rahasia lagi kalau Wella agak kurang menyukai Jingga, karna pernah rebutan cowok waktu kelas 10 dulu. "Berangkat bareng bapaknya, makanya belum keliatan." Harraz celingak-celinguk, "Dua penjaga lo mana? Jendra sama David, tumben sendirian ke kantin?"

"Dih siapa yang bilang gue sendirian." sungut Wella tidak terima, "Gue tuh sama temen gue..." Matanya beralih ke tempat Jian tadi dan tidak menemukan lelaki itu disana, "Loh Jian mana?"

"Halu lo." Kekeh Harraz.

"Tadi ada."

"Lo lama, makanya di tinggal." Harraz tertawa melihat wajah bingung temannya itu.

Dan Wella dengan tampang kesalnya, sudah siap mengamuk pada Jian di kelas nanti. Tunggu saja.

.
.

"Lo kenapa ninggalin gue?!" Wella menghentak-hentakkan sepatunya, gadis itu berdiri di depan Jian, sedangkan Jian hanya menatapnya tak enak.

Ledakkan emosi Wella harus di pending tadi pagi, karna ketika gadis cantik itu sampai di kelas, bel masuk langsung saja berbunyi. Jadinya, ia hanya bisa menatap nyalang pada Jian.

"Maaf, Wella. Saya kebelet."

Hanya alasan saja, karna yang sebenarnya ia tak mau bertemu Harraz.

Wella mengerang frustasi, padahal niat awalnya agar Jian bertemu Harraz, malah ia yang ditinggalkan. "Yaudah deh, mau gimana lagi." Ucapnya pelan, sebelum melenggang pergi dari hadapan Jian.

"Kenapa?" Tanya Jendra penasaran.

Jian tertawa canggung, "Saya gak sengaja ninggalin dia di kantin tadi pagi."

Jendra ber-oh ria, hanya itu saja ternyata masalahnya, ia pikir Jian melakukan kesalahan fatal. "Karna lo takut ketemu Harraz?"

Bibir Jian mendadak keluh, walau dengan ekspresi tenang yang di buat-buat, Jendra tentu saja tau jawaban teman sebangkunya ini. "Ngga, saya kebelet, makanya duluan."

Jendra mengangkat bahunya acuh, tidak percaya dengan jawaban lelaki manis bernama Jian ini, kecuali jawaban tugas Fisika dan Kimia.

"Gimana mau saling kenal, kalo baru ketemu aja lo udah kabur." Cibir Jendra.

Sedangkan yang disindir hanya mengedikkan bahu acuh, "Saya juga gak berniat saling kenal. Biarin aja cuma saya yang tau dia, walau dia gak pernah tau sama saya." Jawaban Jian membuat Jendra menoleh, "Lagian, perlahan saya bakal ikhlas, kok. Gak seharusnya nyimpen rasa sama orang yang udah punya pacar, takutnya perasaan saya ini malah membebani dia, saya gak mau dia terganggu dengan perasaan saya."

Jendra geleng-geleng kepala di buatnya, "Jawaban lo kayak orang yang gak pernah patah hati, dan gak pernah nangis di perpus."

Jendra mengungkitnya lagi, padahal Jian sudah berusaha melupakan hari itu.

Saat itu, ia hanya sedikit merasa cemburu. Iya hanya sedikit. Ada juga sedikit perasaan tidak rela, karna ketika lelaki incarannya itu memiliki pacar, Jian makin tidak pernah terlihat olehnya, padahal sebelumnya Jian sudah membangun kepercayaan dirinya untuk berteman dengan Harraz. Tapi sekarang ia urungkan, lebih baik tidak saling mengenal, menurutnya.

"Kamu jangan banyak omong, nanti yang lain denger." Balas Jian, "Bisa habis saya di cemooh kalau berani naruh rasa pada Harraz."

Jendra menutup buku yang sedari ia baca, "Lo kan gak pernah kepikiran buat jadi pelakor." Tapi sedetik kemudian, seolah tersadar, lelaki itu menatap horror Jian yang berada di sebelahnya, "Atau jangan-jangan lo berguru soal pelakor sama Wella, ya?"

Jian tertawa, walau sempat memikirkannya, ia tak akan pernah begitu. "Jaga omonganmu."

Tapi kan kita gak tau ya, kedepannya bakal gimana?

"Besok saya mau dateng agak siang aja, biar gak ketemu Harraz."

Jendra berdecak, "Tau-tau ketemu di gerbang." Dan ia dihadiahi tepukan dipundaknya, "Who knows, Jian?"

" Dan ia dihadiahi tepukan dipundaknya, "Who knows, Jian?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...

Not The Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang