Baca pelan-pelan ya
.
.Benar-benar aneh rasanya, Harraz dan Jian yang terdiam berdua didepan kelas. Sekolah sudah sepi, 20 menit yang lalu bel pulang sudah dibunyikan, yang tersisa hanya anak ekskul paskibra yang sedang latihan di tengah lapangan, lalu Harraz dan Jian yang memperhatikan mereka.
Harraz masih mempersiapkan kata-kata yang pas untuk ia utarakan, dan Jian sedang menunggu.
"Ji." Ucap Harraz akhirnya, namun yang dipanggil tidak menoleh, "Gue... minta maaf, ya." Katanya.
Jian mengalihkan tatapannya, melihat langit sore yang teduh dan angin dingin yang membelai wajahnya. "Emangnya Harraz salah apa?" Jian balik bertanya.
Mulut Harraz terkatup, menelan kembali jawaban yang mungkin akan ia utarakan. Mengambil nafas pelan, lelaki itu berucap, "Gue gak tau kalo lo sakit waktu olim kemaren."
Jian terkekeh, "Kan bukan salah Harraz kalau saya sakit."
"Gue minta maaf." Kata Harraz lagi.
"Buat apa?"
Harraz terdiam lagi sesaat, "Untuk semuanya."
"Semuanya yang mana?"
Harraz frustasi, "You know what I mean, Ji."
"Ya, Harraz gak salah, ngapain minta maaf." Jawabnya, "Saya gak marah, apalagi sama kamu. Saya cuma kecewa sama diri saya sendiri." Lelaki itu menoleh, mendapati Harraz menatapnya lekat. "Dari awal emang gak mungkin, saya aja yang maksain diri."
Harraz menyimak semua yang Jian katakan, "Maksudnya?"
Jian tertawa hambar, guna mengenyahkan perasaan nyeri di dadanya. "Kamu anggep saya ini apa sih, Raz?" Tanyanya, sedangkan Harraz terdiam ditempatnya, "Kamu tau perasaan saya, tapi saya gak pernah tau perasaan kamu gimana."
"Ji."
Jian menoleh, masih tersenyum, berbeda sekali dengan Harraz yang wajahnya sudah kusut.
"Dari awal kan, bukan saya pemeran utamanya." Ucap Jian, "Saya ini cuma orang asing yang masuk ke kehidupan kamu."
Langit yang semula biru perlahan berubah menjadi oranye, lapangan yang semula ramai sudah mulai menyepi. Harraz masih berdiam diri, menerka-nerka yang Jian maksud.
"Kalau dilanjut, kayaknya makin nyakitin buat kita masing-masing." Ucap Jian, membuat Harraz menatapnya terkejut, "Jadi, udahan ya."
Sesak sekali dada Jian ketika mengatakannya, mati-matian menahan tangis didepan Harraz, "Harraz cari bahagianya Harraz, saya juga akan begitu. Kita balik jadi orang asing, kayak dulu."
"Ji, kok ngomongnya gitu?" Tangan Harraz meraih tangan Jian, namun segera ditepis lelaki itu pelan.
"Bersama pun gak ngejamin kebahagiaan, Raz." Jawabnya pelan, "Saya dengan dunia saya, dan kamu dengan duniamu yang gak bisa saya gapai." Lelaki itu tertawa miris, "Sebaiknya memang seperti ini sejak dulu."
"Ji, jangan gini. Ayo omongin dulu baik-baik, gue salah apa?"
Jian menggeleng, "Kan saya udah bilang, Harraz gak salah. Saya cuma lagi kecewa sama diri saya sendiri."
Kepala yang lebih muda tertunduk, bibir bawahnya digigit dengan kuat, guna menahan tangis. Tangannya meremas ujung kemeja yang telah keluar, lalu beralih menatap Harraz lagi. "Jadi, udah ya. Walau akhirnya kita gak sama-sama, saya harap Harraz bisa nemuin kebahagiaan Harraz yang sebenernya."
Jujur, Jian hanya lelah dengan semua pikiran-pikiran yang membuatnya tidak tidur beberapa malam terakhir, Harraz dan dunianya yang tidak bisa Jian gapai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Main Character
Fiksi PenggemarHajeongwoo area. Sedang asiknya duduk disana sambil menunggu Bu Lisa, wali kelasnya, perhatian Jian teralihkan pada seseorang yang mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan itu. Jian otomatis menoleh. Harraz sedang membawa tumpukan buku paket, berja...