Ada beberapa orang yang terlihat menunggu diluar ruangan Jian, yang paling mencuri perhatian Harraz adalah wanita paruh baya yang mengenakan seragam PNS dengan tas hitam dipangkuannya.
Mungkin hanya David yang menyadari kehadiran Harraz disana, karna hanya lelaki itu yang menoleh dan memanggilnya untuk mendekat. "Ibunya Jian." Katanya, ketika melihat raut bingung di wajah Harraz.
Benar dugaannya.
"Jian gapapa, santai aja." David menepuk pundak Harraz yang terlihat menyusut hari ini.
Tak ada sautan, rasa bersalah bahkan membuatnya tak mampu membuka mulut. Pikirannya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi, dan Harraz sangat takut tentang hal itu.
Wella memperhatikan Harraz dari samping, sudah dipastikan gadis itu marah padanya, bahkan Jendra yang berdiri di sebelah seorang lelaki yang tidak Harraz kenal, enggan menatapnya.
Sebersalah itu kah Harraz?
Dokter keluar dan langsung mengajak Ibu Jian berbicara di ruangannya. Jendra, Wella dan laki-laki tadi langsung masuk, tapi Harraz tidak. Bahkan untuk melangkah mendekat pun kakinya terasa berat
"Duduk, Raz." David duduk ditempat Wella tadi, diikuti dengan Harraz di sebelahnya.
Keduanya masih diam, bahkan David hanya menatap langit-langit lorong rumah sakit, tak sedikitpun berkeinginan mengajak Harraz berbicara.
Ibu Jian terlihat berjalan mendekat, "Gak masuk, nak?" Tanya beliau pada dua orang dengan wajah sendu itu.
David menggeleng, "Nanti aja, Bu, suruh yang lain dulu."
Beliau menganggukkan kepalanya mengerti, "Ibu masuk dulu." Katanya, yang dibalas David dengan senyum dan anggukan kepala singkat.
Beliau sempat memandang Harraz sesaat, namun sepertinya lelaki itu tidak mengetahuinya, Harraz hanya menunduk menatap sepatu putihnya dalam diam.
David menghembuskan nafasnya pelan, "Gue mau ke kantin dulu, mau nitip apa?"
Harraz menggeleng, tidak ada yang bisa ia makan sekarang, rasanya hanya tidak tenang. Ia tau Jian baik-baik saja, namun mengingat bukan dirinya yang bersama lelaki itu dimasa sulitnya, Harraz merasa sedikit marah pada dirinya sendiri.
Harraz bodoh, rituknya dalam hati.
.
.Sudah pukul dua belas malam, Jendra, David bahkan Wella sudah pulang sejak pukul sembilan tadi, menyisakan Harraz yang terduduk sendiri didepan ruangan, tak juga berkenan masuk meski David sudah mengajaknya beberapa kali.
Wanita paruh baya yang Harraz tau adalah Ibu Jian baru saja keluar ruangan, kaget melihat Harraz masih diam tak bergeming ditempatnya sedari sore.
"Belum pulang, nak?"
Harraz menggeleng, "Saya disini aja, tante." Jawabnya pelan, "Jian gimana keadaannya?"
Ibu Jian duduk di sebelah Harraz, menyandarkan tubuh pada sandaran kursi dan menarik nafas pelan, "Gak mau lihat sendiri?" Tanya beliau.
Harraz menggeleng lagi.
"Kenapa?"
"Nanti aja."
Beliau mengerti, sedari Harraz datang seperti memang terjadi sesuatu sebelumnya. Bahkan teman dekat Jian seperti Jendra dan Wella, enggan menyapanya.
"Sudah makan, nak?" Beliau menepuk pundak Harraz beberapa kali, yang ditanya hanya menggeleng lemah.
Ibu Jian kaget, lantas melihat jam yang melingkar dipergelangan tangan kiri. "Nanti malah kamu yang sakit, loh." Katanya, "Ibumu gak nyariin sudah jam segini?"
![](https://img.wattpad.com/cover/294273179-288-k101406.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Main Character
FanfictionHajeongwoo area. Sedang asiknya duduk disana sambil menunggu Bu Lisa, wali kelasnya, perhatian Jian teralihkan pada seseorang yang mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan itu. Jian otomatis menoleh. Harraz sedang membawa tumpukan buku paket, berja...