I wish you were mine

2.3K 379 41
                                    

Sudah beberapa kali Harraz mencoba mendekati Jian, dan mencoba berbicara dengan lelaki itu, namun hasilnya nihil. Jian tidak mau bertemu Harraz, bahkan selalu menghindarinya.

Harraz frustasi, tentu saja. Ia ingin meluruskan semuanya, ia tidak mau terus-terusan terjebak dalam kesalahpahaman ini. Harraz ingin Jian berada disisinya lagi.

Namun sekarang, entahlah, Harraz semakin merasa marah pada dirinya sendiri.

"Belum mau ngomong, ya?" David mendekati Harraz yang terlihat uring-uringan didepan kelasnya.

Harraz hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. "Mungkin masih butuh waktu, nanti gue coba lagi."

"Nanti gue bantu juga buat ngomong."

"Thanks, Vid."

David tertawa, "Iya santai aja, lo tuh semangat kek, perasaan ditinggal Jingga kaga begini banget."

"Ya, gimana ya. Ini gue juga agak telat sih nyadarnya, ternyata gue suka Jian." Harraz menghembuskan nafas lelah,

"Bego sih, udah dari dulu kali semua orang tau lo suka Jian." David melipat tangannya di dada.

"Lo jangan ikut ngatain gue dong, Vid. Nih gue lama-lama bego beneran dikatain terus, gak sama Wella, Jendra, sekarang lo juga."

David hanya tertawa sebagai respon, "Dahlah, gue mau ke kantin dulu kalo gitu."

"Iya dah, sana."

.
.

Jian kelimpungan, kala Wella dan Jendra menyodorinya dengan banyak menu makanan, ada nasi ayam goreng, ayam bakar, ada bakso juga, bahkan bakwan satu piring penuh.

Walaupun Jian senang dengan makanan, tapi kalau sudah begini banyak ia juga tidak tahan. Matanya menatap Wella memelas, "Saya makan nasi aja, ya."

"Gak." Sanggah gadis itu cepat, "Lo tuh harus banyak makan, ibu lo udah ngasih amanah ke gue, dan gue akan menjalankannya dengan senang hati." Satu bakwan ia taruh lagi di piring Jian.

Jendra hanya tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, "Wella udah kayak emak-emak."

Tidak tersinggung sama sekali, Wella justru melebarkan senyumnya, "Iya, dan Jian adalah anak gue tersayang, jadi makan yang banyak ya, nak. Utututu."

Sedang asyik-asyiknya merecoki Jian, ketiganya sontak menoleh ketika melihat seorang laki-laki membawa piring dan minuman, berdiri memandangi mereka.

"Boleh gak kalo aing duduk disini?" Merasa tidak ada jawaban, Jevan, orang yang berdiri kembali membuka suara, "Gak ada lagi euy meja kosong, aing teh cepet kok makannya."

Jendra menggeser kursi miliknya, "Duduk aja, nih."

Jevan tersenyum, ia duduk setelah meletakkan piringnya, lalu makan dalam diam. Sedangkan Wella masih menyuruh Jian menghabiskan ayam goreng, tentu saja dengan protes lelaki itu.

Disela-sela makannya, Jevan menoleh pada Jian, merasa tidak asing dengan wajah itu. "Eh, kalo boleh nanya, maneh Jian ya, yang pacar Harraz itu?"

Jian dan Wella terdiam masih memperhatikan Jevan, dan Jian menggeleng sebagai jawaban, "Saya memang Jian, tapi bukan pacar Harraz."

Lelaki itu menepuk jidatnya pelan, seperti sedang memastikan sesuatu, "Berarti bener, yang kemaren teh Harraz sama Jingga." Katanya, "Aing kira maneh teh pacar Harraz, maaf ya."

"Bentar." Wella mengalihkan pandangan Jevan. "Lo bilang Harraz kemaren sama Jingga?"

Lelaki itu mengangguk, sambil mengunyah makanannya ia menjawab, "Kemaren aing lihat pulang sekolah dia bareng Jingga di cafe simpang tiga itu." Tunjuknya ke satu arah, "Deket lampu merah."

Not The Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang