Kalau dulu ia bisa leluasa bertegur sapa dengan Jian, tapi sekarang sudah tidak bisa seperti dulu. Harraz harus lebih peka dengan perasaan Jingga yang tak menyukai kedekatan mereka. Harraz tersenyum tipis, gadisnya cemburu, tandanya ia sayang, kan?
Sekolah mereka ini bangunannya berbentuk huruf L, dan Harraz sedang berada di depan kelas IPS 4 paling ujung, matanya tak lepas menatap kearah ujung yang satunya lagi, dimana kelas Jian berada.
Lelaki itu berada di depan kelas bersama Wella, Jendra, dan Dwiki. Senyum yang terpatri di bibir Harraz sirna, ketika melihat Dwiki yang bisa tertawa bersama Jian, dan sepertinya lelaki itu tidak main-main dengan ucapannya yang ia katakan tempo hari.
"Liatin apa maneh?" Tanya Jevan, ketika keluar dan mendapati Harraz duduk sendirian didepan kelasnya. Lalu matanya juga melihat objek yang sedari tadi di perhatikan, "Kunaon maneh teh teu kesana, jauh didieu liatnya." Bahasanya campur-campur agar Harraz mengerti maksudnya, Jevan ini orang sunda asli.
Harraz menggeleng pelan.
"Naon, sini cerita ka aa Jepan."
Harraz tertawa pelan, "Kalau disuruh milih sahabat atau pacar, lo pilih siapa?"
"Pilihan macam apa ini." gerutunya, lalu lelaki itu duduk di sebelah Harraz, ikut memperhatikan gerombolan orang yang sedang tertawa itu, "Aing pilih sahabat pasti."
"Kenapa?"
Jevan memberengut, si bodoh ini masih bertanya alasannya. "Maneh ieu tipe orang nu ninggalin temen buat pacaran, nya?" tebaknya membuat Harraz tertawa.
"Maneh teh ka pacar cuma senengnya doang, nanti waktu susah saha nu nemenin maneh? Sahabat maneh, kan?" celotehnya, "Dah aing mah, paling bener pilih sahabat. Kabogoh mah bisa dicari, kalo temen nu udah slek bareng susah."
Lalu Jevan lari masuk ke kelas ketika melihat Pak Junaidi yang berjalan menuju kelasnya.
.
."Lo suka sama Jian, ya?" Tanya Wella langsung pada Dwiki, yang sedari tadi bermain bersamanya, Jendra dan Jian didepan kelas mereka.
Tentu saja Jendra dan Jian tidak berada disana, mereka sedang ke kantin membeli minuman. Kalau ada Jian, Wella mana berani bertanya to the points begini.
"Gue tuh gimana, ya?" Dramatis sekali lelaki ini, padahal hanya tinggal menjawab iya atau tidak. "Suka, tapi sukanya tuh bukan artian gue cinta sama dia, atau sayang sama dia, gak gitu. Karna dia lucu, makanya gue seneng aja sama dia."
Wella mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, "Ati-ati lo, pelet Jian kuat."
Dwiki tertawa mendengarnya, tapi ia juga membenarkan ucapan Wella. Jian itu bisa dengan mudah membuat orang lain nyaman ketika bersamanya, makanya Dwiki beberapa hari ini senang sekali dekat dengan Jian.
"Apalagi cara dia ngomong." Dwiki tersenyum sendiri, "Udah jarang gak sih yang ngomong dirinya pake saya di era sekarang ini?"
Wella mengangguk dan juga tertawa kecil, semua yang Dwiki katakan memang benar.
"Gue pertama kali ngomong sama dia tuh, lumayan kaget, tapi gemes juga."
"Merasa berdosa gak sih lo, disaat kita ngomong lo gue. Malah dibales dia, saya kamu." Gadis itu tertawa, karna pertama kali dirinya berbicara pada Jian, ia merasakan culture shock.
Keduanya tertawa, hingga Dwiki menghentikan tawanya ketika matanya tak sengaja menangkap keberadaan Harraz di ujung koridor, tepat di depan kelas IPS 4.
"Lo gak ngomong sama Harraz, ya?" Tanya Dwiki pada Wella, yang dibalas gadis itu dengan anggukan kepala.
"Orang tolol jangan di temenin."
Dwiki terkekeh, "Dia dari tadi ngeliat kesini terus, antara ngeliatin Jian atau liatin lo."
Wella yang semula menatap langit yang cerah ini, mengalihkan tatapannya pada Dwiki. "Jian kali, ya?" katanya kentara sekali gadis itu senang. "Waduh beneran kuat peletnya Jian."
Dwiki terkekeh, "Lo gak suka sama Harraz?" Tanyanya sedikit hati-hati, "Lo kan udah temenan lama sama dia, kata orang gak ada pertemanan antara cewek sama cowok, pasti salah satunya ada yang suka."
Wella merinding mendengarnya, "Lo kalo ngomong kayak gak inget Tuhan, ngeri banget, njir. Gak lah, gila aja lo." Lalu ia bangkit dari duduknya, berlalu menuju kantin bermaksud menyusul dua orang yang sedari tadi membeli minuman itu.
.
.Lancang sekali rasanya ketika Jian merasakan rindu pada Harraz, sepertinya ia memang sudah terbiasa dengan keberadaan lelaki itu di sisinya, hingga terasa sangat kosong ketika berjauhan dengan Harraz seperti ini.
Inilah yang ia takutkan dari awal, selain perasaannya yang mulai menuntut balas, dirinya juga takut terbiasa dengan adanya Harraz.
Jian sedang memutar-mutar bungkusan roti di meja kantin, ia sedang menunggu Jendra yang tadi di panggil senior ekskulnya, Jian kurang mengerti karna ia tak ikut ekskul taekwondo.
Hingga sedikit terkejut ketika seseorang duduk di sebelahnya.
Tahan, Jian. Jangan teriak. Monolognya dalam hati, ketika tak sengaja melihat orang disampingnya ini adalah Harraz.
Lelaki itu meminum soda kaleng dalam diam, tidak berniat membuka pembicaraan sama sekali.
Jian gugup bukan main.
Setelah sekian lama, ini adalah kali pertama lagi ia berada satu meja dengan Harraz.
Jian harus pergi.
Hendak bangkit dari duduknya, pergerakan Jian terhenti dengan dua kata yang diucapkan oleh lelaki tinggi disampingnya ini. "Jangan pergi."
"Gini aja, gak lama."
Jadilah Jian mematung, merutuki dirinya sendiri yang tak berani bergerak atau bersuara.
Dari arah belakang, Wella sudah membulatkan matanya dengan pemandangan yang ia lihat. Bahkan Jendra yang telah selesai dengan urusannya juga ikut terkaget-kaget melihat dua orang itu duduk bersama.
"Beneran sih ini Harraz naksir Jian." Katanya dengan senyum merekah.
To be continued...
.
.
guys, thanks a lot for 2k readers!
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Main Character
FanfictionHajeongwoo area. Sedang asiknya duduk disana sambil menunggu Bu Lisa, wali kelasnya, perhatian Jian teralihkan pada seseorang yang mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan itu. Jian otomatis menoleh. Harraz sedang membawa tumpukan buku paket, berja...