I saw him with his girl

6.8K 624 21
                                    

"Agak cringe, sih." Keluh Jendra yang berada di sebelah Jian.

Maksud perkataan Jendra adalah Harraz yang menyatakan cintanya pada Jingga, anak OSIS yang konon katanya sudah lama lelaki itu incar. Pasalnya lelaki itu menyatakan perasaannya dari tengah lapangan, dilihat seluruh rakyat sekolah, dengan sebuah bucket bunga mawar ditangannya.

"Gue tau nih, pasti takut ditolak kalo nembaknya diem-diem." Kata Jendra lagi.

Sedangkan lawan bicara lelaki itu, Jian, sedang menatap pemandangan romantis itu dengan sesak di dadanya. Bodoh sekali, pikirnya. Apa yang ia harapkan dengan mencintai lelaki yang bahkan tidak pernah melihatnya sama sekali.

Di terima.

Jian otomatis meninggalkan koridor tempatnya tadi, ingin menuju perpustakaan saja. Mendinginkan pikiran yang mendidih, sudah tau akan begini tapi tetap saja di tonton, namanya nyari perkara.

Jendra setia mengikuti langkah temannya itu, ia yakin lelaki yang berjalan gontai didepannya ini tidak baik-baik saja.

Sesampainya di perpustakaan, sepertinya hanya ada mereka berdua di sana, Jian buru-buru menyeka air matanya yang mengalir tanpa permisi. Sakit, tapi mau bagaimana lagi. Sekali pun Harraz tidak jadian dengan Jingga, tidak akan ada yang berubah pada hubungan Jian dan Harraz, tetap menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal.

"Jangan nangis dong." Pinta Jendra, andai saja bisa, ia tak akan seperti ini, Jendra.

Jian menelungkupkan kepalanya ke meja, berbekal sebuah buku yang menutupi kekacauan dirinya, ia hanya ingin menangis.

Jendra juga tidak berbicara lagi, hanya melihat sekitar berharap guru penjaga tidak masuk disaat seperti ini. Bisa jadi pertanyaan macam-macam kalau ada yang melihat temannya menangis.

Jendra mendengus pelan, "It's okey, Jian. Nangis aja biar sesaknya ilang."

.
.

Dua sahabat ini, Jian dan Jendra sedang berada di halte tak jauh dari sekolah, keduanya menunggu jemputan. Kalau Jendra menunggu supir keluarganya, sedangkan Jian menunggu ojol yang ia pesan tak lama ketika sampai di halte tadi.

Sedang asiknya berbincang, Jian terdiam ketika matanya menangkap dua orang yang tengah bergandengan di sebuah motor, dengan tawa yang menghiasi wajah keduanya.

Pasangan itu tampak bahagia, tentu saja.

Tenggorokan Jian tercekat, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

"Jian, are you okey?" Tanya Jendra.

Bagaimana mungkin baik-baik saja, Jendra.

Meski sesak, Jian mencoba tersenyum, "Gapapa." jawabnya. Jendra tidak bodoh untuk tidak mengerti situasi ini.

Lelaki itu menepuk pundak sahabatnya yang lesu ini, "Awalnya emang begitu, nyesek. Lama-lama pasti bakal biasa aja. Jangan lama terpuruknya." Katanya sebelum ia berpamitan untuk pergi, karna jemputannya sudah menunggu.

Jian terkekeh pelan, yang dikatakan Jendra ada benarnya. Walau ini lebih sakit daripada yang dibayangkannya, ia tidak boleh terpuruk lebih lama.

Lagi-lagi Jian meringis, meratapi nasibnya hanya sebagai karakter tambahan di kisah orang lain, yang bahkan kehadirannya pun tak terlihat sama sekali. Keberuntungan memang tidak pernah memihaknya.

"Dengan Kak Jian?" Sapa seseorang dengan jaket hijau, oh ini ojol yang ia pesan tadi, hampir lupa.

Jian mengangguk, lalu mengambil uluran helm. Ia hanya ingin cepat sampai rumah, hari ini sungguh melelahkan.

Pagi ini sepertinya Jian datang terlalu kepagian, hanya ada dirinya di dalam kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini sepertinya Jian datang terlalu kepagian, hanya ada dirinya di dalam kelas. Kepalanya dengan spontan melihat jam yang ada diatas papan tulis, pukul 6.15 wib, pantas saja.

Dengan malas lelaki itu meletakkan tasnya dikursi miliknya, lalu berjalan menuju kantin, berharap ada stand kantin yang sudah buka.

Jian terdiam, ketika melihat Harraz dan Jingga sedang makan disalah satu meja kosong. Bukankah ini terlalu pagi untuk berduaan seperti ini, matahari juga baru memperlihatkan sinarnya. Benar kata Jendra, pasangan cringe.

Walau begitu, Jian tetap maju untuk membeli roti dan susu, mengabaikan dua makhluk yang tengah kasmaran ini.

"Jian!" Panggil seseorang dari luar kantin.

Itu Jendra, Wella dan David. Mereka teman sekelas Jian, walau lelaki itu lebih akrab dengan Jendra. Ketiganya itu adalah anak donatur tetap sekolah ini, maka dari itu banyak yang menamai ketiganya anak emas.

Jendra melirik meja yang ditempati Harraz sesaat, matanya beralih kepada Jian lagi, "Beli apa?" Tanyanya.

"Roti dan susu."

Wella dan David sedang memilih-milih makanan, katanya ingin membeli sesuatu juga. "Pilih aja lagi, Ji." Kata Wella.

Sepertinya mereka butuh sesuatu.

"Tapi nanti minjem tugas Kimia lo, ya." Lanjutnya.

Sudah Jian duga, memang mereka tidak terlalu dekat, dan hal seperti ini sudah biasa untuknya. Tidak apa-apa, hitung-hitung hemat pengeluaran.

"Ini aja, Wel." Jawab Jian.

Wella itu tidak suka titahnya di tolak. Maka gadis itu mengambil plastik kresek, menaruh apapun didalamnya, roti, susu berbagai jenis rasa, coklat dan cemilan lainnya untuk diberikan kepada Jian, agar setara dengan tugas yang Jian pinjamkan.

Sebelum mereka keluar kantin, Wella terlihat memberikan sebotol air mineral pada Harraz, "Jangan lupa minum air putih, bos." Katanya.

Bukan hanya Jian, Jingga yang berada didepan Harraz menatap Wella dengan pandangan bertanya-tanya.

David terkekeh, "Wella ini, bikin panas rumah tangga orang aja."

Aku balik dengan cerita baru✊part pertama ini, baru kenalan sama para pemainnya gais

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku balik dengan cerita baru✊
part pertama ini, baru kenalan sama para pemainnya gais.
Tes ombak dulu, kalau memungkinkan nanti aku update lagi👋
Makasih sudah baca🙏
.
.
Nam Dohyon as David

Not The Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang