it should be like this

2.6K 459 41
                                    

Entah kenapa, Jian merasa beberapa hari ini ia sering sekali bertemu dengan Jingga. Mulai dari berpapasan ketika di ruang guru, atau memang tak sengaja bertemu di kantin.

Gadis itu sangat ramah, seringkali ia menyapa Jian duluan. Jian bukannya tidak mau menyapa, hanya tidak melihat Jingga terlebih dahulu.

Ngomong-ngomong soal ini, Jian jadi teringat lagi dengan pemikirannya tempo hari, benarkah Jingga tidak akan marah dengan kedekatan Jian dan juga Harraz, Jian sangat takut.

Bagaimana kalau Jingga mengetahui ini semua, dan merasa marah, apakah ayahnya selaku kepala sekolah akan mencabut beasiswa Jian?

Kalau semuanya akan berjalan seperti itu, Jian sangat rela menjauhi Harraz demi keamanan beasiswa yang sudah setengah mati ia perjuangkan.

Jian takut Jingga marah.

Bukankah seharusnya memang Jian ini menjauh sejak awal, agar ketakutan-ketakutan ini tidak ia rasakan. Kalau begini sih, jadinya ia overthinking setiap hari.

Jian rasa, dirinya sudah sangat terbuai dengan kedekatannya dengan Harraz, sampai berangkat dan pulang sekolah, dirinya selalu bersama Harraz, bukankah seharusnya lelaki itu lebih mendahului Jingga. Iya, harusnya begitu.

Kalau begini, Jian merasa dirinya seperti simpanan Harraz.

Ia harus menjauh. Ini adalah keputusan akhir dari segala pikiran, dan ketakutan yang lelaki itu rasakan. Sudah paling benar ia dan Harraz tidak sedekat ini, Jian semakin takut perlahan perasaan miliknya ini menuntut balas.

ttak...

Jidatnya ditepuk pelan oleh David, "Jangan banyak melamun, kalo nanti kesurupan satu kelas yang repot." Katanya, menyebalkan sekali.

Memang akhir-akhir ini Jian memiliki banyak sekali pemikiran yang tidak harus ia pikirkan. Mulai dari memikirkan bagaimana bisa ia menjadi sedekat ini dengan Harraz, dan memikirkan perasaan Jingga.

"Jangan banyak mikirin yang gak perlu." Lanjut David setelah melihat gelagat aneh yang Jian tunjukkan.

Jian mengusap wajahnya frustasi, benar kata David, dan keputusannya adalah menjauh.

.
.

Kali ini Jian sangat bersungguh-sungguh dengan ucapannya, ia tak lagi pergi ke kantin ketika istirahat, tidak lagi menunggu di halte ketika pulang sekolah, Jian lebih memilih memesan ojol ketika masih didalam kelas, tidak apa-apa menyuruhnya menunggu sebentar.

Jian juga selalu datang terlalu pagi, sampai penjaga sekolah geleng-geleng kepala melihatnya. Semua ini ia lakukan agar tidak bertemu Harraz.

Dan hari ini, ia membawa bekal makanan untuk dimakan ketika istirahat, agar tak mengunjungi kantin. Ia memang setotalitas ini.

Jian menyuapkan makanannya sambil membaca buku paket biologi, karna pelajaran nya akan dimulai sesudah istirahat ini. Baca-baca sedikit untuk membunuh rasa bosan, begitulah pikirnya.

"Satu susu coklat untuk tuan muda." Seru Jendra begitu memasuki kelas.

Jian tersenyum, dan mengambil uluran susu kotak yang Jendra berikan. "Kamu tau aja, saya udah lama ngga minum ini."

Dilihatnya Jian yang akan segera meminum, Jendra buru-buru berucap, "Iya, itu titipan dari Harraz, udah lama ngga liat lo soalnya."

Tersedaklah sobat kita ini.

Jian batuk sampai wajahnya memerah, Jendra panik dan memberikan beberapa lembar tissue kepada Jian. "Astaga, lo kenapa?"

Not The Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang