Harraz & Jian

2.5K 451 18
                                    

Beberapa hari terakhir sebelum masuk ke kelasnya, Harraz selalu menyempatkan diri menyambangi kelas Jian. Entah untuk memberikan sekotak susu coklat dan sebungkus roti, atau mengucapkan selamat pagi dan kalimat-kalimat penyemangat sebelum memulai hari.

David kadang geleng-geleng kepala dengan kelakuan keduanya, serta Wella yang menggoda Jian habis-habisan. Jendra akan menagih hal-hal yang katanya cocok untuk pajak jadian, seperti minta membelikan donat, atau sebotol minuman di kantin.

"Ngaku aja, Ji. Lo sebenernya udah jadian kan, sama Harraz." Wella tersenyum senang.

Jian terkekeh dan menggeleng, "Ngga, Wella."

"Belum." Sambung Jendra di sebelahnya sambil menyalin tugas matematika, "Kalo belum berarti akan." Ia berhenti sebentar, "Kalo ngga berarti ngga akan. Emang lo mau usaha lo sia-sia?"

Jian yang ditanyai hanya menggeleng kaku, "Emang Harraz mau sama saya?"

"Kenapa ngga." Jawab Jendra.

Jian jadi memikirkan tingkah Harraz akhir-akhir ini, jujur saja lelaki itu lebih perhatian dan manis. Salahkah kalau Jian berprasangka Harraz juga menyukainya?

Harraz sudah tau tentang perasaannya, sudah tidak ada yang harus ditutup-tutupi, tapi tetap saja, kadang Jian sangat malu, dirinya sangat lancang menyukai Harraz.

Jian menghembuskan nafas pelan, "Bisa aja dia baik ke semua orang."

"Lo, gue pukul ya." Reaksi Wella setelah mendengar keluh Jian, "Gue pastiin jadi, lo tenang aja."

.
.

Tidak aneh ketika melihat Jian bersama Harraz di waktu istirahat, atau diwaktu belajar diluar ruang kelas. Namun hari ini pemandangan ini begitu mengundang minat para siswa lainnya.

Pasalnya Jian yang berlari mengitari lapangan, dengan Harraz disampingnya juga berlari menyeimbangi. Entahlah, pemandangan ini justru terlihat memanjakan mata. Jian yang tampak begitu lucu, menahan lelah dan memaksa berlari, walau keringat sudah membasahi seragam putihnya.

"Itu Jian, kan?" Dwiki yang baru saja keluar kelas terhenti di sebelah Wella yang menonton semuanya dari depan kelas sambil tersenyum.

Kalian jangan suudzon, ini bukan rencananya. Jian hanya lupa membawa buku gambar A3, dan berakhir dihukum keliling lapangan atas keteledorannya itu. Sedangkan Harraz, kelasnya sedang jam olahraga.

Wella menoleh, "Iya." Lalu matanya menatap dua orang yang masih berlari, "Lucu, ya." ungkapnya jujur.

Dwiki terkekeh, lalu mengangguk mengiyakan. Memang lucu, mereka nampak begitu serasi, dua orang dengan postur tubuh bagus itu sedang berlari dan tersenyum satu sama lain. Bahkan banyak siswa lain yang menontonnya dengan minat, sekalian cuci mata liat yang ganteng-ganteng.

Kembali ke dua sejoli yang sedang berlari ini. Sejujurnya Jian sudah sangat lelah, namun ia baru mengitari lapangan sekitar 7 kali, ia harus keliling lapangan 10 kali.

Tangan kirinya memegang lengan Harraz, bermaksud menyuruh lelaki itu berhenti dulu. "Capek, Raz." Katanya terengah.

Harraz yang disuguhi pemandangan Jian yang terkena sinar matahari dengan wajah penuh keringat terdiam untuk sesaat, sebelum senyumnya merekah indah. Tangannya beralih membenahi rambut-rambut bagian depan Jian yang terlihat sudah panjang hampir menutup mata, membawanya keatas dan mengekspose jidatnya. "Jalan dulu, supaya kakinya gak kram." Tangannya beralih memegang tangan kiri Jian, menuntun lelaki itu untuk berjalan bersamanya.

Tolong Wella, ingatkan mereka kalau sekarang masih di sekolah. Seenaknya menebar kebucinan.

"Nanti gue kasih tau pak Giri, lo udah lari 10 putaran." Lanjut Harraz, membuat Jian menatapnya lucu.

"Kan gak boleh bohong."

"Emang kuat lari lagi?"

Jian menggeleng, "Kaki saya sakit, Raz." Ucapnya.

Harraz berhenti, melihat kearah kaki Jian, "Mau ke UKS gak, gue gendong. Takut kakinya lecet kena sepatu."

Jian menggeleng lagi, "Kaki saya cuma sakit kalo lari, tapi saya baik-baik aja, kok."

"Beneran?" yang lebih tinggi menatap memastikan.

Jian tersenyum lantas mengangguk ribut, membuat Harraz tertawa dan mengacak rambut Jian, "Gemes banget sih."

Dwiki yang melihatnya dari depan kelas, sampai sekarang lelaki itu sudah ditepian lapangan hanya memutar bola matanya malas, Harraz kalau sudah bucin memang tidak tau tempat, dasar bulol.

"Permisiiii, dunianya mau gue gulung, minggat-minggat." Teriaknya ketika berjalan melewati Harraz dan Jian.

.
.

Siang ini untuk pertama kalinya, Jian makan berdua dengan Harraz di kantin. Sebenarnya lelaki ini mengajak Wella dan Jendra untuk menemaninya, namun dua sahabatnya itu lebih memilih memperhatikan dari meja yang tak jauh dari Harraz dan Jian, katanya mengamati Harraz agar tidak macam-macam.

Jian menunggu di meja kantin yang dekat dengan pintu keluar, sedangkan Harraz pergi memesan bakso pesanan Jian tadi. Padahal yang lebih muda sudah menawari untuk membantu lelaki itu membawa nampan, namun Harraz tak membiarkan itu, katanya Jian duduk saja dengan manis, habis lari mengitari lapangan pasti membuat tenaganya berkurang.

Untungnya tak lama menunggu, Harraz sudah kembali, sesekali Jian mencuri pandang ke arah meja Wella dan Jendra, dua orang itu terus saja memperhatikannya dengan lekat sambil tersenyum mengejek.

"Makasih." Jian menyambut mangkuk baksonya dengan senang, menuangkan kecap dan menambahkan sedikit cabe, Jian tidak suka pedas.

Namun erangan frustasi berasal dari depannya membuatnya menoleh, "Kenapa?" tanyanya.

Harraz cemberut seperti anak kecil, "Gue masukin terlalu banyak cabe." Jawabnya.

"Yaudah, tambahin kecap lagi."

"Oh iya, bener."

Jian tertawa, ternyata Harraz juga tidak begitu menyukai pedas, Jian harus mengingatnya dengan baik.

"Nanti sore gue ada ekskul, lo mau nunggu apa pulang duluan?" Tanya Harraz ketika dirasa tidak enak kalau saling berdiaman.

Jian berpikir sejenak, "Saya pulang duluan aja."

Harraz mengangguk, "Gue anter berarti."

"Eh gak usah, nanti saya naik ojol."

Harraz menggeleng, "Gak ada ya naik ojol lagi, dianter aja."

Sepertinya akan percuma kalau menolak, Jian hanya mengangguk pelan, yasudah pikirnya.

Satu lagi yang Jian tau tentang Harraz, lelaki ini tidak suka keinginannya di tolak, seakan ucapannya adalah hal mutlak, dan tidak ada bantahan untuk itu.

Huh, Jian pikir ia sangat mengenal Harraz sebelum ini, ternyata tidak, banyak kebiasaan-kebiasaan kecil Harraz yang ia baru tau, seperti lelaki ini tidak menyukai pedas, lelaki ini tidak suka keinginannya dibantah, lelaki tampan ini juga tidak segan menunjukkan perhatiannya walau didepan banyak orang. Oh iya, Harraz juga akan menggenggam tangan Jian ketika menyebrang, atau lelaki itu akan manja sekali ketika Jian berkunjung kerumahnya.

Jian sepertinya harus terbiasa dengan semua tingkah lelaki itu.

Jian sepertinya harus terbiasa dengan semua tingkah lelaki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...

Not The Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang