Lucu sekali ketika mengatakan kalau Jian menyukai Harraz sejak pertemuan pertama mereka. Bukan pertemuan, lebih tepatnya pertama kali Jian melihat Harraz.
Ketika itu, Jian sedang menunggu Jendra di depan ruang guru, lalu tiba-tiba saja Harraz keluar dari ruangan itu, Jian memperhatikannya, tentu saja, bagaimana bisa matanya tidak memperhatikan objek indah yang baru saja melewati dirinya.
Mengulik informasi dari Jendra, katanya Harraz itu mudah bergaul, Jian ingin menjadi temannya.
Tapi, kepercayaan diri Jian luntur ketika mengetahui kasta teman-teman Harraz, semuanya dengan latar belakang yang bahkan Jian sampe menganga mendengar cerita Jendra.
Ditambah lagi dengan fakta umum kalau Harraz itu sedang mendekati Jingga, anak kepala sekolah. Bukankah mereka begitu serasi? murid populer berpacaran dengan anak kepala sekolah, wah bahkan untuk mengenal keduanya, Jian cukup tau diri.
Sedangkan Jian, hanya murid biasa saja tidak terlalu menonjol, anak yang mendapat beasiswa ketika SMP dulu, dan berhasil mendudukan diri di SMA terfavorit di kota ini. Mungkin yang mengenalnya hanya teman sekelasnya saja, dan beberapa orang lain karna ia berteman dengan Jendra, atau terkadang dekat dengan Wella dan David, si anak emas.
Selain itu, Jian tidak mengikuti satupun ekstrakurikuler di sekolahnya. Tidak ada yang menarik minatnya, ia hanya ingin fokus bersekolah dan pulang ke rumah untuk belajar. Tidak pernah berharap lebih untuk menjadi pemeran utama dalam cerita romance, dimana dirinya disukai seseorang dan hidup bahagia selamanya. Selama hampir dua tahun, ia merasa seperti pemeran pembantu di cerita orang lain, mirisnya.
"Bengong aja." Wella duduk di kursi kosong sebelah Jian, mereka ini sekelas, 11 IPA 2.
Wella tidak pernah pilih-pilih dalam berteman, untungnya, padahal jika ia mau, ia bisa berteman hanya dengan anak-anak pejabat bahkan petinggi di kota ini. Tapi, gadis ini cukup merakyat.
Jian menoleh, "Kenapa?" Tanyanya.
"Gabut."
Jian mengangguk, ia pun sama. Guru yang mengajar tidak masuk hari ini, mereka memiliki jam kosong 3 jam pelajaran kedepan.
"Ke perpus, mau?" Tawar Jian yang dibalas gelengan pelan. "Makanya cari pacar biar gak gabut."
Wella terlihat memijit pelipisnya, "Bahkan punya pacar belum pernah terpikirkan dikepala gue, ribet gak sih keliatannya. Harraz sejak punya pacar gak pernah lagi main sama gue."
Ah benar, Wella dan Harraz berteman dekat. Bahkan kalau dipikir-pikir, mungkin penduduk sekolah ini terbagi menjadi dua kubu, shipper Harraz-Jingga dan Harraz-Wella.
Kedepannya jangan kaget kalau ada shipper Harraz-Jian, bukankah kedengaran lebih bagus, better than everything.
Jian mengelus dadanya, tau diri Jian, rutuknya dalam hati.
.
.Sudah beberapa hari semenjak terakhir kali Jian mengunjungi perpustakaan untuk menangis. Kini lelaki itu terduduk di kursi yang sama, sambil mendengarkan lagu di earphone miliknya, ia membaca buku paket fisika.
Membalik lembar demi lembar, membaca semua materi yang mungkin akan keluar besok saat ulangan harian. Hingga pergerakkan tangannya terhenti ketika mendengar suara tidak asing di telinganya.
"Kamu mau duduk di mana?" Suara berat itu, yang sudah Jian hapal diluar kepala.
"Di sini aja." Jawab si perempuan, yang sudah dapat dipastikan Jingga.
Tanpa babibu lagi, Jian menutup buku miliknya dan keluar dari sana, meninggalkan Jendra dengan tatapan terkejut dan bingung. Kalau tetap memilih bertahan di sana, sepertinya Jian tidak akan pernah bisa fokus.
Kakinya membawa lelaki itu ke kantin, membeli satu kotak susu coklat dan mendudukan dirinya di kursi paling pojok, ia mencoba fokus pada bukunya lagi.
Suasana lumayan tenang, karna belum jam istirahat. Ia harus bisa memahami beberapa materi, tidak mau mengambil resiko dengan mengikuti remidial.
Namun, ketika baru merasakan ketenangan jiwa dan raga, pendengarnya diusik lagi dengan suara-suara kebucinan.
"Kamu mau makan apa?" Tanpa menoleh pun, Jian tau itu suara Harraz.
"Buset." ceplos Jian tiba-tiba, "Ini kenapa kesannya kayak, everywhere I go, I always see him again." Lalu ia melesat meninggalkan kantin, dengan suara Jendra yang ia abaikan juga.
"Tuh anak kenapa deh." Jendra heran sendiri.
Kalau kalian bingung, Jian itu sedang mencoba untuk move on. Ia takut kalau rencana move on-nya itu akan hancur hanya melihat wajah tampan Harraz. Makanya lelaki itu mencoba menghindari Harraz sebisanya.
Untung saja ia tak menabrak Wella yang akan keluar kelas. "Lo kenapa lari-lari sih?" Tanya gadis itu.
"Itu tuh namanya pencegahan diri dari bahaya." Ngawur.
Tak lama dari itu, Jendra juga berlari kearah mereka dengan buku ditangannya, "Sialan lo, Ji. Gue ngejar lo dari perpustakaan anjir."
Wella semakin bingung dengan dua orang didepannya ini, "Kalian kenapa jadi main kejar-kejaran begini?"
"Anuu... Jian..." Jendra tersengal-sengal.
Jian sudah melotot, takut kalau Jendra akan keceplosan dengan kata-katanya.
"Lari dari Harraz."
Tuhkan.
Kini tatapan bingung Wella, beralih pada Jian, sedangkan Jendra sudah memukul-mukul mulut bodohnya yang bisa-bisanya keceplosan.
"Kenapa lari dari Harraz?"
Nah loh, bingung mau jawab apa. "Ah gapapa kok." Jian cengengesan sambil menjawab, membuat Wella menaikkan sebelah alisnya.
Jendra dengan cepat merangkul Jian, "Gapapa Wel, cuma kita tadi di kantin liat orang bucin." Jendra memaksakan senyumnya, "Kita masuk dulu ya."
Wella memperhatikan dua sahabat itu dari ambang pintu kelas, kelakuan keduanya sangat mencurigakan, sekarang malah Jian terlihat memukul-mukul Jendra dengan buku ditangannya. Wella tertawa sarkas, jangan-jangan tebakannya tempo hari benar.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Main Character
FanfictionHajeongwoo area. Sedang asiknya duduk disana sambil menunggu Bu Lisa, wali kelasnya, perhatian Jian teralihkan pada seseorang yang mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan itu. Jian otomatis menoleh. Harraz sedang membawa tumpukan buku paket, berja...