Sangat menyesal dengan ucapannya kemaren pada Jendra, yang mengatakan kalau dirinya akan datang agak siang untuk menghindari Harraz, nyatanya lelaki manis tersebut malah kesiangan.
Ia pikir dengan menaiki angkot kedua, ia akan sampai sekolah tepat waktu, nyatanya macet yang melanda ibu kota tidak bisa dielakkan.
Jadilah lelaki berkulit tan tersebut disini, berdiri di depan pos satpam sambil menunggu mangsa Pak Junaidi lainnya. Dan kebetulan lagi, hari ini giliran Pak Junaidi yang terkenal killer itu yang menjaga gerbang, merazia atribut, rambut dan menghukum anak-anak yang terlambat.
Ini kali pertama Jian, dan ia takut sekali. Tidak banyak yang terlambat, jadi dirinya cukup mencolok di sini. Bagaimana nanti kalau dirinya menjadi bahan gunjingan guru-guru, siswa beasiswa yang terlambat di hari rabu, membayangkannya saja membuat lelaki itu panas dingin.
"Taruh motornya di parkiran, nanti baris di sana. Jangan kabur." Entahlah pada siapa beliau berucap, tapi Jian cukup merinding mendengarnya.
Ia melirik jam ditangan, sudah menunjukkan pukul 7.30 wib. Lama sekali, untung saja ulangan fisika tidak jadi. Lalu perhatian Jian teralih pada seseorang yang berbaris di sampingnya, dari sepatunya sih ia sangat kenal orang ini, tapi ia memilih tidak percaya. Segala bentuk kalimat sanggahan bertengger di kepalanya, degub jantungnya semakin berpacu.
Ia harus melihat sedikit orang disampingnya ini, hanya untuk memastikan saja.
Dan...
Matanya terpejam rapat, bukan ini yang seharusnya terjadi kan? bukan ini rencana telatnya hari ini.
Bagaimana mungkin ada Harraz yang juga berbaris di sampingnya sekarang, disaat rencananya kesiangan berangkat sekolah adalah untuk menghindari lelaki itu.
Tuhan sepertinya sedang ingin bercanda.
Pak Junaidi berdiri di depan mereka, memegang kertas yang mungkin berisi nama siswa yang telat hari ini, lalu menghitung lagi orang yang berdiri di depannya, mungkin takut ada yang kabur.
"Bapak tidak mau mendengar alasan telat kalian." Ucap beliau, "Langsung saja biar cepet, karna hari ini ada rapat guru-guru, jadi kalian bapak tugaskan untuk membersihkan ruangan aula belakang." Sungguh, Jian lebih baik datang kepagian kalau begini hukumannya.
"Karna ada enam orang yang telat hari ini, biar semuanya bekerja, bapak akan bagi menjadi tiga pasang."
Oh tidak, biarkan Jian bekerja sendirian, ia sangat rela.
"Rafael." Tunjuk beliau pada lelaki jangkung yang sedari tadi menunduk, "Kamu sama Dimas, tolong sapu bagian depan aula, selasar, koridor itu tanggung jawabmu dan Dimas." Sedangkan nama yang di sebutkan hanya mengangguk-angguk, "Tunggu apalagi?" tanya beliau, maksudnya menyuruh dua orang itu segera bergerak.
"Lalu, Riana." Beliau melihat siswi yang bernama Riana sesaat, "Kamu bersama Difa, tolong susun air putih di meja depan aula, snack yang diruang guru juga tolong disusun serapi mungkin." Kedua nama yang di sebutkan mengangguk, lalu berjalan beriringan menuju ruang guru.
Jian lemas sekali sebenarnya.
"Kamu Jian." Lelaki tua itu menunjuk Jian, "Kamu bisa telat juga ternyata, ini pertama kalinya saya lihat kamu telat, loh." Sedangkan Jian hanya menunduk, "Kamu bersama Harraz, bersihkan bagian dalam aula, kalau kotor disapu, kalau perlu dipel sekalian."
Mungkin ini akan menjadi mimpi buruk bagi Jian, atau malah mimpi indah? Yang jelas jantung Jian terus saja berdetak tak karuan ketika menyadari kini dibelakangnya ini ada seseorang yang selama ini ia kagumi, tengah berjalan mengikutinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Main Character
FanfictionHajeongwoo area. Sedang asiknya duduk disana sambil menunggu Bu Lisa, wali kelasnya, perhatian Jian teralihkan pada seseorang yang mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan itu. Jian otomatis menoleh. Harraz sedang membawa tumpukan buku paket, berja...