Wella and Jendra's plan

2.8K 483 27
                                    

Senyum cerah, bahkan luar biasa cerah tak henti menguar dari bibir tipis milik Jian. Lelaki itu dua hari ini selalu menebar senyum terbaik yang ia miliki, Jendra sampai mual melihatnya, lumayan horror dengan pandangan saat ini.

Bro, ini seorang Jian yang berbicara pun irit, jangankan menebar senyuman. Tapi lihatlah senyum itu sekarang, sungguh lelaki aneh.

Jendra duduk di sebelah Wella, sesekali mendumel, mengomentari keanehan Jian.

"Aduh, senyumnya itu, seakan gak pernah nangis diperpus karna patah hati."

Wella melihat arah pandangan Jendra, lalu ikut tertawa, "Lo tau gak apa yang bikin dia begitu?"

"Harraz, kan? tau gue."

Wella mengangguk antusias, "Iya! kemaren mereka telat, trus dihukum berdua buat nyapu aula." Walau berbisik, dapat ditangkap kalau gadis itu sangat menyukai kebersamaan dua anak adam itu.

"Hah?" Jendra belum tau ternyata. "Oalah anjir, Jian kampret, belum cerita dia." sungutnya.

Sekarang malah senyum Wella yang merekah, "Gue punya rencana, deh."

Jendra mendekatkan dirinya pada Wella, memudahkan gadis itu untuk berbisik. Lalu keduanya tersenyum bersama dengan masing-masing yang mengacungkan jari jempolnya.

.
.

Karna diseret-seret oleh Wella dan Jendra, akhirnya Jian ikut menuju kantin di istirahat pertama. Padahal niat awalnya ingin tiduran di kelas, lumayan 15 menit untuk meredakan kantuknya.

"Saya ngantuk, Jendra." Keluhnya, tapi Jendra dan Wella seakan menulikan telinga.

Bahkan mereka sengaja memilih kursi di pojok, agar bisa mengurung Jian di kursi yang mepet dengan tembok, sedangkan disebelahnya duduk Jendra yang berbadan besar, lalu sebelah Jendra ada David, memang ia tak bisa keluar sekarang. Sedangkan gadis cantik bernama Wella tadi, sedang sibuk memesan makanan, tumben sekali, pikir Jian.

"David, tolong saya keluar dari sini." Rengek Jian pada David yang duduk santai dan diam dari tadi.

Lelaki bertubuh paling tinggi itu hanya menghela nafasnya, "Duduk aja, Jian. Cuma makan."

Tidak ada yang menolongnya. Jian pasrah, mungkin tiga anak emas ini hanya ingin mentraktir dirinya.

Wella datang. Sayangnya tidak sendiri, ia bersama Harraz yang membawakan nampan berisi lima mangkuk bakso, Jian tertunduk dalam. Jangan-jangan mereka ini sengaja?

Gadis itu tersenyum senang ketika melihat Jian yang sejak tadi memberontak, sekarang diam seribu bahasa.

"Makan disini aja Raz, gabung sama temen-temen gue." pinta Wella, Jian makin-makin tertunduk mendengarnya.

"Gapapa emangnya?"

Wella terkekeh, "Siapa juga yang larang."

Jian berhadapan dengan Wella didepannya, sedangkan Harraz berada di sebelah kiri gadis itu. Sangat dekat, mungkin ini pertama kalinya Jian melihat Harraz dalam jarak sedekat ini.

Harraz adalah mahakarya Tuhan. Indah. Sangat indah.

"Makan, Jian." Wella membuyarkan lamunannya.

Mendengar Wella menegur Jian, membuat Harraz ikut menatap lelaki itu yang sekarang malah tertunduk dalam, seakan tak mau wajahnya terlihat.

"Ini Jian yang kemaren di hukum sama gue, ya?" Harraz bertanya memastikan, membuat Jendra dan Wella menahan senyum gemas.

"Iya." Jawabnya pelan, sangat pelan untungnya masih terdengar.

Wella mengubah ekspresinya dengan cepat, takut ditanyai kenapa senyum-senyum sendiri seperti orang gila. "Lo kenapa telat Raz?"

"Lagi apes, motor gue mogok."

"Lo kenapa telat, Ji?" Wella bertanya pada Jian.

"Ketinggalan angkot."

Jendra tertawa mendengarnya, ia tau jelas kalau temannya itu sedang menghindari Harraz, lalu apa yang ia dengar barusan, ketinggalan angkot? konyol sekali.

Wella melirik Jendra yang ternyata juga meliriknya, terbitlah senyum nakal dikedua bibir anak muda ini. "Waduh susah ya, kalo angkotnya dateng gak tepat waktu." Kata Wella, "Oh iya, bukannya rumah Harraz searah sama rumah Jian?"

Sebelumnya Jian jarang sekali mengumpat, tapi kenapa dua temannya ini ingin sekali ia hadiahi berbagai nama hewan di kebun binatang, sangat menjengkelkan.

"Oh ya?" Sahut Harraz, ingin sekali Jian menyumpal mulut Wella dengan satu baso besar yang ada di mangkuknya ini. "Rumah lo dimana?"

Pertanyaan itu tentu saja di tujukan kepada Jian, lelaki itu tersenyum canggung. "Dideket pasar, belakang SD 27."

Harraz mengangguk-anggukan kepalanya, "Gue lewat situ sih tiap hari, boleh kalo besok mau bareng ke sekolah."

Terkutuklah dua manusia yang sekarang sedang tersenyum kemenangan.

Jian sudah sangat malu, sungguh. Wajahnya memerah hingga ke telinganya, jantungnya berpacu cepat, seperti akan meledak. Rasa yang perlahan ia lupakan tampaknya terus tumbuh, hingga lupa niat awalnya adalah melupakah perasaannya pada lelaki yang sekarang ini tersenyum manis padanya.

.
.

Jendra dan Wella tidak benar-benar kapok dengan perbuatan mereka tadi. Selesai makan bersama di kantin, mendadak Jian tidak mau bertegur sapa dengan mereka berdua. Ngambek anaknya.

Bukan Jendra dan Wella namanya kalau dua anak jahil ini berhenti berulah. Bahkan kini keduanya berada dibawah pohon besar tepat didepan sekolah, mengendap-endap memperhatikan objek yang sedari tadi mereka amati dari kejauhan.

Itu, Jian. Lelaki itu sedang menunggu entah ojol kah atau angkutan umum kah, tapi ia berdiri disana, sambil memberengut kesal menatap ponselnya.

"Menurut lo, Harraz bakal dateng gak?" Tanya Jendra yang sudah memegangi perutnya yang lapar bukan main.

Wella mengigit bibirnya, sebuah kebiasaan ketika ia sedang menunggu atau merasa bingung. "Gak yakin sih, takutnya itu ongol-ongol pulang bareng pacarnya."

"Tadi lo udah bilang belum ke Harraz, buat nganterin Jian pulang?"

"Udah." Jawab gadis itu melihat ponselnya lagi, takut-takut Harraz menghubunginya kalau tidak bisa mengantar Jian. "Dia gak pernah nolak permintaan gue sih." Lanjutnya.

"Itu dia! itu dia!" Jendra heboh sendiri, membuat Wella yang berfokus pada ponselnya langsung menatap ke arah Jian kaget. "Menurut lo bakal pulang bareng apa ngga?" Tanya Jendra.

"Gak yakin sih, Jian batu banget soalnya."

"Bareng ini mah kalo kata gue-- TUHKAN!" Heboh Jendra ketika melihat Jian perlahan menaiki motor Harraz.

Mereka sedang terpekik senang, jarang sekali Jian menuruti perkataan orang lain, apalagi tadi itu Harraz yang mengajaknya pulang. Wah, apakah Jian sudah jatuh sedalam itu pada pesona Harraz?

 Wah, apakah Jian sudah jatuh sedalam itu pada pesona Harraz?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...
.
.
Selamat Libur Tahun Baru untuk kita semua🙏
(walau tanggal 3 masuk sekolah)

Not The Main CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang