Wella, Jendra dan David datang ke rumah sakit setelah pulang sekolah, Jian tidak apa-apa, hanya kelelahan dan kurang tidur. Sore ini lelaki itu sudah bisa pulang ke rumahnya.
Jian menatap satu persatu temannya, tidak bisa mengenyahkan rasa kecewa di hatinya ketika tidak melihat Harraz ada di sana.
Jian tersenyum getir, mungkin Harraz sudah kembali berbaikan dengan Jingga, pikirnya.
"Maaf, ya." Jian melihat kearah David, membuat lelaki itu mengernyitkan dahinya bingung. "Saya gak bisa jadi juara di olim kemaren, Bu Jennifer kayaknya bakal marah."
Jendra mendekat, "Beliau justru marah waktu tau lo lagi sakit malah maksain ikut."
"Ya gimana, saya juga gak tau hari itu bakalan sakit." Jian terkekeh.
"Jaga kesehatan ya, Ji." Wella berucap, "Gue udah sering bilang gini, lo itu udah pinter banget, tanpa lo belajar sekeras ini pun gak bakalan ada yang ngalahin lo. Jadi jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya."
Jian mengangguk, sempat tertawa sedikit karna merasa lucu dengan teman-temannya yang mendadak perhatian seperti ini, namun dibalas gadis itu dengan pelototan yang sukses membuat Jian terdiam.
"Iya, gue setuju sama Wella." Sambung David, "Jadi jangan minta maaf gitu ya, udah ada diposisi dua aja tandanya lo tuh hebat banget, banyak orang yang pengen ada diposisi lo itu, dan lo orang yang keren banget karna udah dapet posisi setinggi itu. Tahun depan kita bales untuk posisi satu yang ngga lo dapet."
Jian tertawa, setelahnya mengangguk. "Makasih, ya."
Wella bangkit dari duduknya, "Barang lo udah semua, kan? Kita anter pulang."
.
.Layaknya seperti dejavu, lagi dan lagi Harraz membuka pintu cafe yang sama, kembali menebar senyum yang sama dan berjalan menuju kursi yang sama dengan yang terakhir kali Jingga memutuskannya malam itu.
Harraz tidak mengerti kenapa gadis itu seolah melakukan reka ulang pada kejadian yang sudah sebisa mungkin Harraz lupakan.
"Lo udah lama? Sorry telat."
Jingga menggeleng dengan senyum yang menghiasi bibirnya, "Gue juga baru dateng, Raz." Jawabnya, "Mau pesen dulu, gak?"
Harraz mengangguk, kebetulan ia juga belum makan sedari siang. Selesai memesan makanan keduanya masih diam, Harraz merasa canggung harus berada di situasi seperti ini lagi.
"Udah lama ya, Raz, sejak malam itu." Jingga melipat tangannya di meja, melihat-lihat interior cafe yang mungkin tidak banyak berubah semenjak malam keduanya memutuskan untuk berpisah. "Rasanya kayak ngulang masa lalu."
Harraz masih diam, dan tersenyum kecil guna merespon ucapan gadis didepannya.
Entah kenapa, Harraz merasa perasaannya sekarang biasa saja, tidak menggebu-gebu seperti dulu, kalau dipikir-pikir, Harraz sudah mengejar Jingga sedari kelas 10, selama itu perjuangannya untuk hubungan seumur jagung.
"Jingga kangen Harraz." Ucapan Jingga membuat Harraz yang semula menunduk sekarang menatapnya lekat. "Jingga harusnya gak mutusin Harraz malem itu, Jingga sayang Harraz, Jingga bohong waktu bilang gak punya perasaan sama Harraz. Harusnya Jingga pikirin mateng-mateng jalan keluar atas semua masalah Jingga, bukan malah tumbalin hubungan Jingga sama Harraz."
Harraz sungguh bingung.
"Jingga pikir, waktu itu belum terlalu nyadar sama perasaan Jingga ke Harraz. Waktu Harraz gak ada, rasanya berat banget. Sekarang Jingga sadar, Jingga sayang banget sama Harraz." Jingga tersenyum getir ditempatnya, berharap Harraz masih bisa memahami hatinya, "Harraz mau gak lupain kisah kita yang dulu, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi, kali ini Harraz gak berjuang sendirian, karna Jingga bakal ngelakuin hal yang sama buat pertahanin hubungan sama Harraz."

KAMU SEDANG MEMBACA
Not The Main Character
FanficHajeongwoo area. Sedang asiknya duduk disana sambil menunggu Bu Lisa, wali kelasnya, perhatian Jian teralihkan pada seseorang yang mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan itu. Jian otomatis menoleh. Harraz sedang membawa tumpukan buku paket, berja...