Explorer [3]

118 52 12
                                    

Aku berlari ketempat di mana Roxie diparkirkan. Melihat kebelakang, laki-laki itu masih berdiri diam melihat pesawat militer berterbangan, disaat semua makhluk berlarian mencari tempat berlindung.

Otakku menyuruh untuk menolongnya, tapi ragaku menolak. Tak ada salahnya juga menolong, dia sudah membela penjelajah di bar tadi. Baiklah, anggap ini sebagai balas budiku.

Berbalik menghampiri laki-laki bodoh itu, kemudian menariknya berlari menuju Roxie. "BODOH! KENAPA HANYA DIAM?!" Aku harus berteriak agar bisa terdengar olehnya.

"MAAF! AKU TAK PERNAH MELIHAT PESAWAT SEKEREN ITU!" balasnya berteriak.

Kami melewati ruko-ruko yang sudah habis terbakar, menghindari ledakan-ledakan yang seolah mengejar kami di belakang.

Kapalku tinggal beberapa langkah di depan, syukurlah aku bisa sampai sana. Penjaga juga sedang menghalangi pesawat yang mendekat dengan tombak listrik mereka. Mereka sangat taat pada pekerjaan.

Kami masuk kedalam dan aku pergi ke Ruang Cockpit untuk menyalakan mesinnya. Butuh beberapa menit hingga mesin kendali benar-benar menyala, maklumlah kapal tua.

Roxie naik perlahan, kemudian melesat pergi dari daerah itu. Suara ledakan masih terdengar, teriakan makhluk di sana yang kehilangan tempat mereka bagaikan suara kicauan burung yang bersahutan, semakin jauh suara itu semakin kecil. Padahal mereka tidak melakukan kesalahan apapun, tapi harus kehilangan tempat tinggal. Aku semakin membenci militer dan pemerintah.

Dirasa sudah tenang, aku mengaktifkan mode otomatis pada kapalku.

Keluar dari Ruang Cockpit, aku membelalakkan mataku kaget melihat ada penjaga tadi di dalam kapalku, aku tidak ingat kapan mengajak dia masuk.

Penjaga itu duduk santai sambil menaikkan kakinya ke meja, sedangkan laki-laki tadi duduk di bawah dengan kaki melipat.

Aku merasa kasihan pada diriku sendiri, bukankah mereka terlihat seperti tuan rumah?

"Seingatku hanya kau yang masuk kedalam kapalku, kenapa sekarang ada satu makhluk lagi?" sindirku.

Gurita itu mendongak menatapku, dengan gayanya yang angkuh dia membalas. "Anggap saja bayaran aku sudah menjaga kapalmu."

"Hei, aku sudah membayar mu dengan tombak itu, kau ingat?" bantahku sedikit berteriak.

"Tombak ini adalah bayaran kau memarkirkan kapalmu di tempatku!"

Wah, benar-benar makhluk itu berhasil memancing amarahku. Tanpa pikir panjang ku hampiri gurita itu dengan pistol di tanganku. "Keluar dari kapalku, sebelum aku melemparmu keluar."

Penjaga itu merespon pergerakan ku dengan menodongkan tombaknya, badanku merinding saat melihat percikan listrik di ujung tombaknya.

Laki-laki yang tadi terduduk sampai berdiri dan menghampiri kami. "Kurasa tidak perlu sampai seperti ini!" ucapnya berusaha melerai.

Dia berdiri di sampingku dan berbisik. "Ini bukan ide yang bagus, biarkan saja dia di sini."

Dengan berat hati aku menurunkan pistolku. "Kali ini, ku beri kau tumpangan."

Aku pergi ke sisi lain ruangan ini, asalkan berjauhan dengan si gurita. Tiba-tiba sebuah ide muncul di otakku, kenapa tidak manfaatkan saja mereka.

"Oh, satu lagi. Tumpangan ini tidak gratis, kalian harus membelikan aku dan Roxie makanan untuk tiga bulan kedepan. Ini sepadan dengan aku menyelamatkan nyawa kalian, bukan?"

"Roxie?" tanya penjaga.

"Kapal ini, namanya Roxie." jawabku.

"Ya baiklah, ku belikan kau kacang-kacangan." ucap penjaga itu dengan wajah yang begitu mengesalkan.

GALAXY : The Last Explorer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang