Aku terbangun dengan napas yang tidak beraturan. Mimpi itu lagi, di tempat yang sama dengan kejadian yang sama. Aku menyaksikan ibu tertusuk untuk kedua kalinya.
Kenapa ini, napas ku jadi sesak. Padahal aku tidak menderita penyakit apapun, sesuatu mengalir sangat cepat di dalam tubuhku. Seperti sebuah energi, untungnya napasku kembali normal. Aku merasa aneh pada tubuhku, semenjak kejadian luka sembuh dengan sendirinya itu. Sebenarnya apa yang terjadi padaku?
Waktu menunjukan pukul dua belas malam, kurasa ini waktu yang tepat untuk membahas tentang kaumku pada Zain, aku tidak ingin memberitahu pada siapapun tentang tubuhku ini. Jika tidak berbahaya, ku rasa akan aman saja.
Mengenai kaumku, walaupun aku tidak yakin Zain akan tahu semuanya, mengingat cerita dia yang tidak dekat dengan Pak Harrington. Tapi apa salahnya mencoba?
Jane dan Karli masih tertidur lelap, karena kami bercerita banyak membuat mereka mengantuk dan akhirnya tertidur. Aku turun dari tempat tidurku, Pancy tidak ada di kasurnya, aku tebak dia sedang berada di kamar mandi. Tak peduli juga.
Baru saja membuka pintu, Pancy keluar kamar mandi dengan handuk di tangannya. "Mau kemana selarut ini?"
"Hanya mencari udara segar." Aku akan coba berdamai dengannya.
Kami diam-diaman sebentar, aku hanya mengerutkan dahi karena Pancy masih berdiri di tempatnya tanpa mengatakan apapun. "Ada yang ingin kau sampaikan? Karena aku ingin pergi sekarang," tanyaku.
Pancy menunduk, "Aku sadar, Kata-kata itu harusnya tidak keluar dari mulutku, aku benar-benar menyesal telah menyinggung soal orang tuamu. Apa permintaan maafku terlambat?" Ternyata dia membahas soal pertengkaran kami.
"Tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf, Pancy. Aku juga minta maaf jika kelakuanku membuatmu kesal, karena memang ini aku. Dan yah, mungkin kedepannya kau akan semakin kesal denganku, saran saja sebaiknya latihlah kesabaranmu. Aku pergi dulu," jawabku sebelum pergi. Lega rasanya, mungkin aku harus mulai memperbanyak teman, bukan lawan.
Di luar ternyata dingin, aku tak tahu bahwa akan sedingin ini. Jaketku ada di kamar, aku berbalik kembali ke kamar. Namun baru saja membuka pintu, seseorang menjatuhkan barang di belakangku. Aku membantunya mengambil beberapa barang yang berserakan di lantai.
"Maaf dan terima kasih," ucap laki-laki itu, wajahnya masih terlihat lugu untuk seorang prajurit.
"Tidak masalah. Kau prajurit baru?" tanyaku memastikan.
"Ah ya, aku baru masuk sebulan yang lalu. Perkenalkan, Howl." Dia mengulurkan tangannya yang bebas kepadaku.
Dengan senang hati aku menerima uluran tangannya. "Nebula. Mau kau bawa kemana barang-barang ini? Biar kubantu."
Tanpa persetujuan dari Howl, aku mengambil beberapa barang di tangannya, jika dilihat ini seperti keperluan olahraga.
"Aku ingin ke tempat latihan."
"Kebetulan sekali, aku juga ingin ke sana." Baguslah, aku jadi tidak perlu bertanya di mana tempat latihan berada.
Kami berjalan beriringan sambil membawa alat olahraga itu, sesekali kami mengobrol membahas tentang kesukaan masing-masing. Howl ternyata berasal dari Planet Kuta, planet yang jaraknya dekat dengan Planet Pioneer.
"Bagaimana di Planet Kuta?" Terakhir kali aku ke sana saat usiaku genap sepuluh tahun, karena bingung ingin kemana lagi jadi aku putuskan untuk mampir ke planet tetangga.
"Semua baik, tidak ada masalah. Di sana juga semua warganya sangat ramah, banyak tempat yang bagus." Howl tampak menunjukan perasaan rindu. Aku setuju dengan jawabannya, warga di sana memang ramah dan baik. Jadi ingat saat pertama mendarat, seorang kakek menghampiriku dan membawaku kerumahnya, di sana aku di sambut dengan senyuman oleh keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALAXY : The Last Explorer
Ficção CientíficaDi angkasa yang luas, tersebar miliaran bintang, planet dan benda-benda langit lainnya tergabung menjadi sebuah kesatuan yang biasa kita sebut, Galaksi. Dimana setiap planetnya memiliki bintang yang menjadi induk mereka, hal itu yang juga kita kenal...