Explorer [19]

32 12 5
                                    

Hampa. Wilayah pemukiman yang dulu dipenuhi oleh masyarakat, kini hanya tersisa puing-puing bangunan beserta sejarah yang terjadi di dalamnya. Terbayang ketika aku masih kanak-kanak, bermain bersama teman-temanku di lapangan yang sekarang ditumpuki batu-batu.

Kami sampai beberapa menit yang lalu, perasaan rindu menghampiriku ketika pertama kali mendarat, setelah bertahun-tahun lamanya tidak menginjakkan kaki di tanah ini. Kami semua memakai masker half face untuk melindungi diri dari radiasi, akibat dari pengeboman pada hari itu membuat planet ini menjadi zona merah. Itu jugalah alasan mengapa aku tidak tinggal di planet ini lagi.

Seberapa jauh aku melangkah, pada akhirnya aku akan pulang. Walaupun semua tidak lagi sama.

Kami berjalan kaki menuju gedung pembuatan senjata Griffin itu. Karena tidak ada lahan luas untuk memarkirkan kapal di sekitar gedung, kami harus memutar dan mencari lahan luas. Dan jaraknya lumayan jauh.

Seseorang menggenggam tanganku, ternyata Zain pelakunya. Dia menggerakkan tangannya yang bebas, bertanya dengan bahasa tangan.

Kau oke?

Aku mengangguk sambil tersenyum, walaupun aku tahu Zain tidak bisa melihatnya.

'TUK'

Aku tidak sengaja menendang sesuatu, benda seperti cangkir dan sebuah termos air. Kami berhenti, karena aku yang berada paling depan menghentikan perjalanan. Tiga buah cangkir dengan bentuk yang sama, terbuat dari aluminium. Aku berjongkok mengambil salah satu cangkir, yang pertama ku rasakan adalah hangat. Rigel ikut berjongkok di depanku, melakukan hal yang sama. Alisnya berkerut, aku tahu apa yang dipikirkannya. Cangkir ini masih baru digunakan, itu tandanya ada tiga orang selain kami yang baru saja melintasi jalan yang sama.

Kami menatap sekeliling dengan waspada, karena tidak tahu siapa dan apa yang akan kami hadapi setelah ini. Aku mengeluarkan anak panah dan siap dengan posisi membidik apa saja yang terasa janggal.

Namun tidak ada tanda-tanda kemunculannya, dan jika dilihat dari cangkir-cangkir yang berserakan itu, beserta termos air yang tumpah, aku dapat menyimpulkan bahwa sang pemilik terburu-buru. Aku memberitahu Rigel, kemungkinan mereka berlari menjauh setelah melihat kami datang. Rigel setuju dengan hal itu.

"Lanjutkan perjalanan, mereka tidak di sini!" Suara Rigel terdengar dari earbuds.

Aku memasukan kembali anak panah, begitupun yang lain memasukan senjata masing-masing. Dua orang lainnya selain Baron, apa mereka juga termasuk dalam daftar buronan, jika iya maka ini akan mempersingkat waktuku. Menangkap tiga buronan sekaligus di tempat yang sama.

Kami melanjutkan perjalanan, jauh dari kapal kami terparkir. Ada dua orang petugas yang menunggu di dalam kapal, takut-takut kalau terjadi sesuatu, mereka bisa dengan cepat menjemput kami.

Jane menghampiri ku, berjalan di sampingku, "apa yang kau ingat tentang tempat ini?"

Aku tersenyum, melihat puing-puing yang ditumbuhi rumput liar, tentu saja aku ingat tempat ini. Puing-puing itu adalah rumah temanku, Deka. Kenapa aku bisa tahu, karena dari semua rumah di kota ini, hanya rumah Deka yang berwarna mencolok. Bahkan hingga sekarang menjadi reruntuhan, warna itu tidak pudar, masih menyakitkan mata. Ingat Deka, aku jadi rindu dengannya, temanku itu selalu membuat onar di kota ini, dan aku selalu disalahkan karena Deka tidak pernah mengaku dia yang bersalah. Tentu dia memiliki alasan, itu mengapa aku tidak masalah menanggung semua kesalahannya. Deka adalah anak terakhir dari lima bersaudara, ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik makanan, pabrik kecil yang pendapatannya tidak banyak.

Jika mereka tahu Deka yang membuat masalah, dia pasti akan dihukum keluarganya dan ayahnya akan dikeluarkan dari tempatnya kerja. Aku sering membawanya ke rumahku dan makan di sana, ibu juga senang memasakkan makanan kesukaan Deka. Membuat anak itu jadi terbiasa datang ke rumahku untuk sekedar makan bersama, dia juga terkadang membawakan kacang-kacangan untuk kami.

GALAXY : The Last Explorer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang