LIW | 7

69 13 1
                                    

Tidak seperti biasanya, Devan menginjakkan kaki kembali ke rumah yang jarang ia kunjungi karena kesibukannya bekerja di lapangan. Dilihatnya sang Mama yang telah menyambut Devan dengan senang hati seolah tahu anaknya yang jarang pulang itu akan segera datang. Tanpa menghilangkan rasa sopan santunnya, Devan mencium tangan pusat dunianya itu. 

Reyna tak cukup disambut oleh ciuman di tangan itu memeluk putra bungsunya erat-erat sambil beberapa kali menciumi kedua pipinya bolak-balik. Devan terdiam pasrah. Mamanya selalu seperti ini. Sederhananya, ia tak pernah menjadi 'dewasa' di mata Mamanya.

Puas menyambut putra bungsunya, Reyna mengurai pelukannya dan mencuri-curi pandang ke balik punggung Devan seolah mencari sesuatu; atau seseorang. Devan mengernyitkan dahi, bingung dengan peringai Mamanya.

"Cari apa, Ma?" tanyanya kemudian.

"Bukan apa, tapi siapa. Kamu gak mungkin pulang sendiri, 'kan?" jawab Reyna yang semakin membuat Devan tak mengerti.

Devan berpikir sejenak dan berseru pelan, "Ah! Orang yang Mama kirim untuk mengawasi aku, 'kan? Dia maksudnya?"

Reyna tersentak pelan. Secara refleks, ia memukul lengan atas Devan sambil berusaha mengelak. "Apa maksud kamu? Mama gak kirim siapa-siapa!"

Namun saat Devan hendak membalas elakan Mamanya itu, Reyna kembali berseru. "Pacar kamu! Yang Mama maksud itu pacar kamu!"

"Pacar?" ucap Devan membeo. Nampak seperti orang yang linglung di mata Reyna. Sontak, Reyna tersadar. "Aaahh. Dia belum jadi pacar kamu, ya? Masih pdkt?"

Lelah menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari Mamanya yang tak masuk akal itu, Devan melepaskan genggaman Mamanya dan memilih untuk segera masuk ke dalam rumahnya. "Apa maksud Mama?" elaknya sambil lalu.

Reyna berjalan cepat menyusul putranya memasuki rumah. "Perempuan pemilik toko online yang selalu kamu kunjungi itu. Dia bukan pacar kamu?" 

Mendengar pertanyaan itu, Devan berhenti sejenak. Ia membalikkan badan hingga menghadap tepat di depan Mamanya. "Gotcha! Mama yang kirim orang-orang itu untuk mengawasi aku, 'kan?"

Reyna diam membatu. Ia nampak mencari-cari alasan. Devan mengabaikan itu dan kembali melangkah menuju kamarnya. "Jangan kirim mereka lagi, Ma! Devan lagi kerja dan mereka menghalangi pekerjaan Devan."

"Mereka hanya mencoba membantu kamu," jawab Reyna kemudian. Kali ini, ia tak lagi mencoba mengelak. 

"Misi Devan gagal karena informasi yang Devan punya dibocorkan pihak lain. Pihak lain, Ma."

"Dan kamu pikir pihak lain itu Putra dan timnya? Mereka tim independen yang gak punya kepentingan apapun di instansi-instansi pemerintahan terutama kepolisian. Kenapa mereka harus bocorin informasi yang kamu punya?" balas Reyna merasa sedikit tersinggung bawahannya dicurigai begitu.

"Ah, jadi namanya Putra?" balas Devan tidak pada intinya.

Reyna terdiam. 

Devan menaiki tangga yang menuju kamarnya sambil terus diikuti sang Mama.

"Apapun itu, aku gak mau Putra dan kawan-kawannya itu mengikuti Devan kemana pun Devan pergi. Lagipula, main mereka gak rapi. Kalau gak Devan larang, bawahan Mama itu akan habis di tangan tim Devan," ucap Devan lagi.

"Keputusan akhirnya ada di Mama. Mama yang pegang kuasa dalam memutuskan Putra untuk berhenti atau tidak. Kamu cukup bekerja saja dan bersikap biasa seolah Putra tidak ada di sana. Mudah, 'kan?" balas Reyna keras kepala.

"Gimana bisa aku bersikap seolah Putra-Putra itu gak ada di sana saat aku bahkan bisa liat dia dari ekor mataku?" tanya Devan yang terdengar frustasi.

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang