Devan terjatuh menimpa atap mobil yang berada di bawahnya sebelum terguling pelan hingga terdampar di atas tanah. Dengan tertatih, Devan segera bangkit sambil memegangi bahu kirinya yang terasa nyeri.
Dari balik punggungnya, terdengar suara tembakan yang saling sahut-menyahut, namun seperti apa yang diperintahkan Señor, Devan tak berani melirik ke belakang. Biapun rasa penasarannya menumpuk, Devan menekan perasaan itu jauh-jauh. bukanlah orang suci yang akan memberi saran secara cuma-cuma kepada setiap orang yang ia kenal.
Devan terus berlari dan berlari sejauh mungkin tak tentu arah. Tujuannya hanya satu, menghindar. Dari apapun, siapapun itu.
Namun belum lama rasanya Devan berlari, seseorang menarik tubuhnya dari belakang. Devan tersentak pelan. Belum sempat Devan menghindar, pipi kirinya sudah ditinju duluan. Devan terhuyung. Bau amis darah yang berasal dari sudut bibirnya dapat Devan cium dengan jelas. Ia meludah dan memberikan tinju balasan pada seseorang yang menyerangnya lebih dulu itu.
Perkelahian tak dapat terhindarkan. Sesaat setelah orang itu tumbang, rombongan lainnya muncul. Devan menatap mereka satu per satu; berharap ada seseorang yang wajahnya familiar bagi Devan. Namun nihil. Devan belum pernah melihat mereka semua.
Mereka melangkah maju melawan Devan secara berbarengan. Keroyokan. Kali ini perkelahian tujuh lawan satu. Devan sempat kewalahan, mukanya bonyok disana-sini. Belum habis rombongan yang satu, muncul lagi rombongan lainnya. Devan berantisipasi untuk itu, namun anehnya mereka tak menyerang Devan. Mereka justru membantu Devan. Tanpa tahu siapa kawan dan siapa lawan, Devan menyerang orang-orang itu secara acak sebagai bentuk perlawanan hingga ia menyadari satu hal. Rombongan dengan tato mawar berwarna merah darah di sisi kiri leher mereka tak pernah mencoba menghabisi Devan. Saat itulah Devan mulai menyadari lawan yang sebenarnya.
Devan menangkis, meninju dan menendang tiga orang yang mencoba mengepungnya secara sekaligus. Ketiganya tumbang, namun beberapa rekannya yang lain dengan sigap bangkit dan menerjang Devan. Untungnya, belum sempat mereka menyentuh Devan, mereka sudah dihajar duluan oleh geng mawar merah; Devan yang memberi nama itu sejak ia taktahu nama aslinya.
Devan dan seluruh pihak yang bersamanya menyelesaikan pertarungan dengan cepat hingga takada lagi yang tersisa. Dari tubuh-tubuh manusia yang teronggok di atas tanah, Devan mengambil kalung yang menggantung di leher salah satu tersangka pengeroyokan. Devan pikir, itu adalah identitas mereka; sama seperti rombongan dengan tato mawar merah di leher kirinya. Kalung itu membentuk ukiran berbentuk naga yang baru pertama kali Devan lihat.
Sambil mengamati bentuk kalung itu baik-baik, salah seorang anggota kelompok mawar merah menghampiri Devan. "Mereka yang kamu cari."
Devan melirik penuh tanya ke arah orang itu. "Águila," sebut orang itu memperkenalkan diri. Dari perkenalan singkat itulah Devan tahu siapa yang mengutus mereka.
"Devan," balasnya singkat yang dijawab oleh anggukan Águila. "Kita tau siapa kamu."
"Hermano!" panggil salah satu anggota Águila; memanggil dari kejauhan. Águila meliriknya dan orang itu menunjukkan tato naga berwarna merah yang menutupi hampir seluruh punggungnya dari salah satu pelaku pengeroyokan Devan beberapa saat yang lalu.
Devan nampak terkejut melihat tato itu, berbanding terbalik dengan Águila. Ia terlihat telah menduga tato itu sebelumnya, pun para anggotanya yang lain.
Águila menepuk bahu Devan sekali; mencoba menyadarkannya dari keterkejutan. Itu wajar karena kali ini Devan tidak hanya berhadapan dengan mafia rendahan biasa.
"Mereka komplotan naga merah; yakuza sebutannya. Sebenarnya, aslinya bukan naga merah. Aku hanya menyederhanakannya saja agar lebih mudah disebut. Mereka mafia yang selama ini kalian cari," jelas Águila kemudian.
Devan terlihat kembali terkejut. Ada terlalu banyak kejutan yang ia terima malam ini. "Tapi, Águila-,"
"Panggil Hermano saja."
"Hermano, mengapa mereka tiba-tiba saja menunjukkan diri?"
"Karena kamu sudah berhasil mengungkapkan kejahatan mereka yang paling gelap. Atau bisa dibilang, ini semua karena Lanza. Kamu sudah terima dokumen dari Señor?" Devan menganggukkan kepala. "Itu hanya kedok. Mereka datang untuk mengambil dokumen itu; agar jejak mereka tetap tak terendus. Namun mereka terlalu memandang remeh Señor."
Águila merogoh kantung celana hitam ketatnya.dan memberikan flashdisk berukuran kecil pada Devan. "Dokumen aslinya ada di sana."
Devan menerima flashdisk itu dan segera memasukkannya ke saku jaketnya.
"Bagaimana dengan Lanza? Dia sedang dikejar juga. Mungkinkah ... pelakunya sama?"
Águila mengangguk. "Tapi dia berada di tempat yang aman. Lanza selalu tau tempat bagus untuk bersembunyi. Jangan terlalu mengkhawatirkan dia! Dia akan menghubungimu kembali saat waktunya tiba. Cukup jaga dirimu sendiri!" Ia lantas menarik pisau kecil yang tersimpan dibalik kemeja seorang komplotan naga merah yang teronggok di tanah sebelum mengacungkannya ke hadapan Devan. Dengan sigap, Devan menghindar. "Motto mereka hanya satu, kill or killed."
Part ini pendek banget emang, tapi aku lagi pengen publish aja gitu mumpung lagi lowong. Takutnya aku gapunya waktu luang lagi mengingat hecticnya hawa-hawa mendekati lebaran ini. Jadi, hope u enjoy it, ya! Aku gak pede banget sama scene-scene 'tawuran'nya karena first experience bangeett xixixi. Dan kayaknya, dari part ini alurnya akan aku cepetin dikit mengingat musuh yang sebenarnya sudah menunjukkan diri ahaha.
Selamat menunggu waktu berbuka puasa bagi yang menjalankan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover In War | ✔
ChickLit[ Seri ketiga dari Marriage In Rush ] 𝐜𝐡𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭 - 𝐫𝐨𝐦𝐚𝐧𝐜𝐞 - 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐚 𝐬𝐥𝐢𝐠𝐡𝐭𝐥𝐲 𝐚𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 *** Menjadi owner online shop produk kecantikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan mencari pasangan untuk diajak menikah juga hal yan...