LIW | 32

58 7 1
                                    

Hari demi hari Devan lalui dengan menjalani terapi. Beberapa kali ia juga merasakan telinganya berdenging kencang hingga Devan kesakitan. Maura yang melihat seluruh perjuangan Devan dari hari ke hari itu nampak tidak tega yang membuat Devan semakin membenci dirinya sendiri yang semakin hari semakin hancur. Tapi tak dapat ia pungkiri, karena Maura pula semangatnya untuk terapi semakin meningkat. Hasilnya? Devan sudah bisa berdiri tegak untuk beberapa menit dan dapat berjalan secara perlahan. Meski begitu, Devan tetap harus ada dalam penjagaan dan terapi lebih giat.

Keluarga Devan yang lain rutin menjenguk satu-dua hari sekali. Devan yang meminta mereka untuk tidak datang setiap hari. Padahal, Maura senang bisa berbaur dengan keluarganya. Mama dan Abangnya, Dika, jadi anggota keluarga Devan yang paling rajin menjenguk. Kehadiran Mamanya bukan hal yang aneh bagi Devan, tapi keikutsertaan Dika yang jadi masalahnya.

Mereka memang kakak beradik, tapi hubungan mereka tidak dalam keadaan yang seharmonis itu hingga Abangnya harus ikut menjenguk dirinya bersama sang Mama. Tapi rasa penasaran Devan terjawab saat melihat salah satu artikel berita di berita harian elektronik.

Abangnya saat ini tengah menjalani sidang perceraian dengan istrinya, si supermodel wanna be itu, yang kini menuntut perusahaan keluarga sebagai harta gono-gininya. Non sense! Alasan perceraian? Supermodel abal-abal itu diduga berselingkuh dengan rekan kerjanya di dunia hiburan, modelling especially. Yah, Devan tak terlalu terkejut karena pada dasarnya ia memang seorang jalang matre.

Bisa dipastikan saat ini Dika pasti tengah meminta perlindungan pada Kanjeng Ratu yang sengaja menangkap momen ini sebagai kesempatan untuk membuat Dika bertekuk lutut padanya. Devan sendiri mencurigai Mamanya sebagai dalang dibalik kasus perceraian Abangnya ini.

Di luar kasus internal keluarganya, Devan juga rutin mendapat kabar terkini dari markas lewat Geri yang aktif memantau pergerakan tim mereka 24/7. Dan tentunya, Devan membagi kabar itu pada Maura yang selalu merasa cemas dengan keadaan kakaknya. Seperti saat ini. Laptop Devan terbuka dan keduanya tengah melihat salah satu email masuk yang diberikan oleh Geri yang berisi informasi terkini dari medan perang. Terlalu berlebihan, tapi istilah itu yang dianggap Maura cocok untuk menggambarkan situasi mereka.

"Glad to hear mereka baik-baik aja," ucap Maura sambil mendesah lega. Devan mengangguk setuju. Namun dalam hati ia menyimpan semua kekhawatiran.

Maura menyadari itu, tapi ia tak mau membuat Devan terlalu cemas. Jadi ia membuka obrolan. "Ah, kamu mau nonton?"

Devan tak perlu menjawab pertanyaan dari Maura karena ia telah lebih dulu menyalakan saluran OTT lewat TV Digital yang ada di ruangan. Sembari mencari-cari film yang Maura inginkan, Devan mematikan laptop dihadapannya dan melirik pelan ke arah Maura yang duduk di sampingnya; tampak sibuk mencari judul film lewat remote di tangannya.

Dilihatnya wajah Maura yang kaya ekspresi. Sesekali kedua alis ditekuk sambil memajukan bibir bagian bawahnya. Nampak pula sebelah tangannya yang menganggur ia posisikan di bawah dagu; khas orang yang tengah berpikir keras. Dalam diam, Devan tersenyum geli. Tingkah Maura itu terlihat lucu di matanya.

"Ah! Kita nonton ini aja!" seru Maura gembira. "Ini film favorit aku dari jaman SMA. Wahh, kalau Laura and the gang tau aku masih suka nonton ini, pasti bakal diledek!" curhat Maura begitu saja. Kedua mata Maura beralih menuju ke arah Devan, menatap balik kedua bola mata Devan. Kebiasaannya tiap sedang mengobrol tatap muka; eye to eye.

"Kamu juga bagian dari Laura and the gang itu," balas Devan sekenanya. Ia segera mengalihkan pandangan menuju TV dihadapannya yang menunjukkan judul film. The Notebook. Seketika, Devan terkekeh. "Yang bener aja? Favorit kamu film menye-menye kayak gini?"

Maura tak menjawab, tapi didengar dari deru nafasnya kentara sekali kalau ia merasa kesal.

"Tapi kayaknya aku bisa rewatch sekali lagi. Aku juga udah lupa sama jalan ceritanya."

Setelah mengatakan itu, Devan melirik ke arah Maura yang kini tengah menarik senyum segarisnya.

"Ah, cemilannya!" Maura bangkit dari duduknya dan berlari kecil mengambil bungkusan makanan untuk teman nonton mereka.

"Tisu sekalian," pinta Devan kemudian. Maura berpikir sesaat, merasa tisu itu tidak perlu. Karena ia yakin untuk rewatch yang kesekian kalinya ini, ia tidak akan mudah menangis. Ini bukan kali pertamanya menonton The Notebook. Jadi, ia mengabaikan permintaan Devan. "Gak perlu tisu. Filmnya gak akan sesedih itu, kok!"

Dan lagi-lagi, Devan hanya diam mengikuti apa kata Maura. Ia sepenuhnya menyerahkan segala urusan pada Maura.

Siapa yang menyangka bahwa kehadiran tisu itu benar-benar dibutuhkan?

Maura menghela napas berat. Ia merasakan dadanya sesak akibat menampung rasa sedih yang terlalu banyak. Ia mencoba menahan air matanya yang menumpuk di kedua pelupuk mata disaat pria di sampingnya tiba-tiba saja terisak.

Maura tercengang saat melihat Devan menangis sambil menutup kedua matanya dengan sebelah tangan. Sebagai rasa simpati, Maura menepuk punggung Devan pelan. Namun isakannya semakin kencang yang mau tak mau membuat air mata yang sedari tadi telah Maura tahan keluar. Pada akhirnya tangis keduanya pecah di ruang kamar inap yang sepi itu sambil--tanpa disadari--berpelukan satu sama lain untuk beberapa saat.

Keduanya kini berada di situasi yang canggung. Setelah bermenit-menit menumpahkan kesedihan, Devan dan Maura sibuk menutup jalur air mata mereka masing-masing sambil saling melepaskan pelukan. Lalu keduanya tiba-tiba tertawa; menertawai kekonyolan mereka.

Lalu tanpa membahas apa yang baru saja terjadi, keduanya telah terlarut ke dalam pertandingan mobile game seru lewat gawainya masing-masing. Membentuk squad dan saling bersahutan satu sama lain. Tidak seperti yang diharapkan, Devan knock out lebih dulu. Ia tidak begitu mahir bermain game, ditambah fokusnya juga terpecah oleh kehadiran Maura di sampingnya yang entah mengapa menghipnotis dirinya. Dengan kedua mata yang masih sembab, hidung yang memerah dan pipi yang gembul menarik perhatian Devan.

Tiba-tiba saja Maura berseru. Timnya menang; tim mereka. Sebelah tangannya yang terkepal ia angkat ke atas sambil bersorak senang. Devan ikut tersenyum senang melihatnya. Dilihatnya rambut Maura yang menghalangi pandangan akibat selebrasi hebohnya di atas kursi membuat tangannya bergerak merapikan rambut Maura. Diselipkannya rambut Maura di belakang telinga yang membuat Maura diam mematung.

Kedua manik matanya bertabrakan dengan milik Devan. Dilihatnya raut wajah Devan yang nampak bersinar hingga menyilaukan mata. Hingga Maura memecahkan keheningan dengan sebuah pertanyaan konyol yang jawabannya tak pernah ia kira, "Have you felt your love for me, Devan?"

"Maybe."

"That's a good thing. 'Cause maybe I felt my love for you too, Mr. Dirgantara"

 Dirgantara"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang