Tak banyak yang dilakukan Maura dan Devan sejak itu. Tak lama setelahnya, Devan kembali menghubungi Geri yang tadi sempat tertunda.
Berbeda dengan Maura yang tengah sibuk dengan laptopnya di sofa yang ada di seberang bed Devan. Selesai dengan urusannya, Devan lantas memperhatikan gerak-gerik Maura lekat dari atas kasur tidurnya untuk beberapa saat sebelum bertanya, "Sibuk?"
Pertanyaan bodoh yang tidak penting. Devan tak masalah jika pertanyaannya itu tak Maura jawab. Toh, orang bisu pun bisa melihat kenyataan Maura yang memang tengah sibuk. Namun, Maura ternyata sebaik yang Devan kira. Ia tetap menjawab pertanyaan bodohnya meski berada di tengah kesibukan.
"Iya. Aku lagi jalanin bisnis baru bareng Laura."
Dan tanpa ditanya kembali, Maura lanjut menjelaskan bisnisnya pada Devan. Di atas kasur rumah sakit, Devan mendengarnya dengan saksama.
"Ini udah cukup lama dan baru setengah jalan, sih. Belum sempat terealisasi dan baru aku garap akhir-akhir ini. Rencananya, aku mau buat brand kosmetik sendiri sambil gandeng Laura jadi investornya dan Anneth yang jadi brand ambassadornya. Beberapa temanku yang lain juga ikut bantu."
"Wow! Wonderful!"
Maura meringis kecil, sambil terlihat malu-malu. "Belum bisa disebut wonderful juga. Masih banyak yang harus aku kerjain. Aku baru buat sampel produknya beberapa minggu lalu dan sekarang lagi tahap uji coba klinis. Kalo semuanya lancar, tinggal urus hak paten dan urusan administerial lainnya."
"Tetep aja. Aku salut sama kamu. Kayaknya kamu udah nemu impian kamu yang sebenarnya, ya?"
Dari tempatnya duduk, Maura terdiam. Ia menengadahkan kepalanya; menatap Devan sambil tersenyum simpul. "Sepertinya, sih, begitu."
Rasanya, Devan kehilangan napasnya saat melihat senyuman tipis itu terukir di bibir kecilnya Maura. Terpesona mungkin jadi kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Devan saat ini.
Namun, itu tak berlangsung lama. Detik berikutnya, pintu terbuka dan menampilkan sosok lelaki dengan balutan jas putih sepanjang lututnya berjalan mendekati Devan diikuti seorang perempuan bertopi perawat yang bersiap mengecek kondisi Devan. Secara mandiri, Devan membaringkan tubuhnya ke atas kasur. Sigap, Maura bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan mendekati bed Devan; penasaran.
"Ada yang kerasa sakit?" tanya sang dokter sambil meletakkan stetoskopnya di tubuh Devan yang dibalas gelengan oleh Devan.
Sang dokter kembali menggantungkan stetoskopnya di leher sambil perawatnya mengurusi selang infus Devan.
"Kondisinya stabil dan seharusnya Tuan Devan sudah bisa mulai terapinya agar bisa berjalan kembali," jelas dokter.
"Hari ini, Dok?" tanya Maura memastikan. Dokter melihat sekilas ke arah pasien—Devan—sebelum menjawab pertanyaan Maura.
"Besok pagi juga boleh."
"Kira-kira, berapa lama proses pemulihannya, Dok?" tanya Maura yang tak mampu menampung rasa penasarannya.
"Hasilnya tergantung kegigihan pasiennya sendiri. Mungkin dalam hitungan satu atau dua bulanan. Bisa juga lebih cepat dari itu. Kuncinya, optimis."
Maura tersenyum lebar mendengar jawaban sang dokter. Setidaknya, Devan masih punya harapan.
"Terima kasih, Dok." Maura mengantar sang dokter dan perawatnya keluar masih dengan senyuman yang terpatri indah di bibirnya. Membuat Devan betah berlama-lama melihat wajahnya.
"Kamu denger apa kata dokter tadi, 'kan?" tanya Maura pada Devan, memastikan. Devan menganggukkan kepalanya pelan. "Bagus. Besok aku akan temani kamu terapi, sampai kamu bisa berjalan kembali."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lover In War | ✔
ChickLit[ Seri ketiga dari Marriage In Rush ] 𝐜𝐡𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭 - 𝐫𝐨𝐦𝐚𝐧𝐜𝐞 - 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐚 𝐬𝐥𝐢𝐠𝐡𝐭𝐥𝐲 𝐚𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 *** Menjadi owner online shop produk kecantikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan mencari pasangan untuk diajak menikah juga hal yan...