LIW | 27

75 11 2
                                    

"Gausah bercanda! Bercandaan kamu gak lucu!" seru Maura acuh takacuh. Ia masih tak ingin percaya dengan fakta bahwa Devan tak lagi mengingatnya. Dengan perangai Devan yang selalu bertindak semaunya, ia bisa yakin bahwa ini semua akal-akalan Devan. Seruan Maura itu tak nampak membalas. Dilihatnya Maura dengan pandangan menyelidik.

"Kita saling kenal?" tanyanya lagi. Maura mendesah pelan. "Udah aku bilang, jangan bercanda!"

Namun Devan tetap bergeming. Maura menghela napasnya berat, tapi ia tak kehabisan akal. "Jangan begini, Devan. Aku punya hal penting yang harus dibicarain. Ini soal Gran Maestro, ah bukan. Señor maksudnya. Dan aku gak bisa bicarain hal penting itu kalau kamu dalam kondisi seperti ini. Amnesia!"

Maura mengharapkan ekspresi lain dari raut wajah Devan yang tak banyak berubah. Kali ini, Maura sudah tak bisa membedakannya lagi. Entah Devan yang betulan lupa ingatan atau mahir bermain peran, Maura tak bisa memastikannya lagi.

Hingga pintu kamar rawat Devan terbuka dan menampilkan sosok sang nyonya besar yang dipenuhi raut wajah khawatir. Maura tebak, beliau sudah tahu perihal kondisi anak bungsunya itu. Jadi, saat Reyna mengajaknya untuk keluar sebentar, Maura segera menyanggupinya.

Dilihatnya Reyna yang tertunduk pasrah di depan pintu kamar rawat Devan. Melihatnya saja sudah membuat Maura kehilangan harapan. Dibawanya Maura untuk duduk di salah satu kursi dan setelah Reyna mengatur nafasnya perlahan, mulailah ia bercerita.

"Seperti yang diharapkan, semalam, Devan bangun. Tidak ada yang ganjil. Dia terlihat baik-baik saja dan mengenal kami, keluarganya. Namun, dia tidak bisa merasakan kedua kakinya. Kedua kakinya mati rasa dan dokter menyatakan Devan lumpuh." Mendengarnya, napas Maura tercekat. Namun, itu baru separuhnya. Cerita sebenarnya masih belum selesai.

"Masih perlu beberapa pengecekan kembali untuk mengetahui apa Devan lumpuh sementara atau ... atau ...," Reyna tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Maura bersimpati. Ia memeluk Reyna dari samping, mencoba untuk meredakan tangisnya walau kedua matanya sendiri sudah begitu perih karena menahan air mata.

"Seakan belum cukup, Devan terlihat aneh saat kami menyinggung kejadian yang menimpanya baru-baru ini. Dia terlihat tidak familiar dengan cerita yang kami sampaikan. Soal misi berbahayanya, soal insiden terakhir kali dan soal keberadaan kamu. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, Devan divonis dokter mengalami amnesia parsial. Devan kesulitan mengingat memorinya sejak tiga tahun yang lalu."

Dan dalam memori tiga tahunnya yang lalu, ada eksistensi Maura di dalamnya. Tak perlu penjelasan mendetail untuk hal ini. Pada akhirnya, Maura mengetahui bahwa eksistensinya dalam kehidupan Devan selama ini hanyalah semu.

Meski merasa sedih, namun Maura tetap memahami semua musibah yang menimpa Devan hanya dalam satu hari. Dan itu membuat Maura semakin bersimpati pada Devan. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, Maura mencoba menenangkan Reyna. "Gapapa, Ibu. Devan pasti akan baik-baik aja. Devan pasti bisa melalui ini dengan baik."

"Yah, semoga saja. Dan sampai hari itu tiba, tolong bantu Devan."

Dan tanpa berpikir panjang, Maura menyanggupi permintaan Reyna. "Pasti, Bu. Tanpa ibu pinta pun, aku memang akan terus ada di samping Devan. Aku bersumpah."

Reyna yang mendengarnya menghela napas lega. Ia takut Maura akan membuang anaknya setelah tahu bahwa Devan sudah kehilangan banyak hal dan mungkin ke depannya akan menyulitkan banyak orang. Kalau sudah begini jadinya, hanya ada satu hal lain yang menjadi permintaan khusus Reyna terhadap Maura. "Panggil aku dengan sebutan yang selalu Devan pakai. Mama. Panggil aku Mama."

"Baik, Mama."

Sedikit yang Maura tahu, panggilan itu berarti banyak hal. Panggilan itu menjadi bukti dirinya diterima secara terbuka di keluarga Devan. Dan entah mengapa, Maura menyukai itu.

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang