LIW | 2

171 18 7
                                    

Di sebuah rumah yang terletak di kawasan perumahan elit ibukota, seorang nyonya dengan penampilan modis dan anggun nampak berdiri di depan lukisan potret sebuah keluarga didampingi salah seorang pelayan setianya.

Tak lama, datang seorang lelaki muda dengan setelan serba hitam. Ia berjalan mendekati sang pelayan pribadi dan berbisik pelan. Setelahnya, pelayan nyonya itu menyampaikan maksud kehadiran sang pemuda pada majikannya.

Nyonya itu mengangguk sekali dan pelayannya segera melangkah mundur; memberi jalan pada si pemuda untuk melapor pada Nyonya Besar.

"Tuan Muda masih di posisi. Sepertinya ia tidak menyadari keberadaan saya. Kemarin Tuan Muda kembali menjalankan misi, tapi misi itu gagal karena informasinya dibocorkan oleh pihak tak dikenal. Mereka masih menyelidiki tentang hal ini. Sejauh ini, Tuan Muda dalam keadaan baik."

"Bagaimana dengan wanita itu?" tanya atasannya tanpa bersusah payah untuk membalikkan badan.

Putra, sang pengawal pribadi itu menundukkan kepala dalam-dalam. "Mohon maaf, kami tidak mendapat informasi lebih lanjut mengenai wanita itu."

"Siapa namanya? Saya lupa," tanya sang nyonya lagi.

"Maura. Maura Meyriska."

"Ah, ya. Maura. Dia hanya seorang wirausaha, yang punya toko online itu, 'kan? Masa cari info lebih lanjut tentang dia saja tidak bisa."

"Maafkan saya, Nyonya," ucap Putra lagi penuh rasa menyesal.

"Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?" tanya sang nyonya kemudian sambil melirik kecil ke arah pemuda yang usianya telah berkepala tiga itu.

Sekilas, lelaki itu nampak ragu. Namun pada akhirnya ia mengatakan keresahannya selama beberapa hari terakhir ini.

"Sebenarnya saya dan tim sudah beberapa kali mengikuti pergerakan wanita itu. Tapi anehnya, kami selalu dihadang oleh pasukan khusus di tempat yang sama setiap kali kami mengikuti wanita itu pulang."

Sang nyonya nampak tertarik dengan laporannya itu. "Hmm, begitu ya?"

Putra tak menjawab. Sang nyonya membalikkan badan dan berjalan menuju meja kerja suaminya. Ia mendudukkan diri di atas kursi sambil mengetuk-ngetukkan jari jemarinya di atas meja; nampak berpikir keras.

"Apa dia anak seorang mafia?" gumam sang nyonya pelan. Jelas, ia tak membutuhkan jawaban dari tebakannya itu.

Lama berpikir, ia mendongakkan kepalanya untuk kembali menatap sang ajudan yang merangkap sebagai kaki tangannya itu.

"Terus awasi mereka berdua. Laporkan saat ada kejanggalan. Dan pastikan anak saya selalu dalam keadaan baik-baik saja."

Sang pemuda menganggukkan kepalanya tanda mengerti sebelum berlalu pergi. Saat melangkah keluar, Putra berpapasan dengan atasannya yang lain di bibir pintu. Ia tersentak pelan. Dengan segera, ia membungkuk hormat sekilas sebelum benar-benar pergi.

"Mama belum berhenti juga, ya?" tanya Dika pada Mamanya dari arah pintu masuk.

Yang ditanya tak membuka mulut. Dika melangkah mendekati sang mama sambil terus mengomel. "Devan itu lagi kerja, Ma. Mama gak perlu kirim Putra dan timnya buat mata-matain Devan. Lagian, Devan juga udah gede. Kalau dia tau kelakuan Mama yang overprotective gini, pasti dia marah."

"Siapa yang mata-matain? Mama cuma jaga Devan dari jauh lewat perantara Putra. Apa yang salah?" balas Mamanya tak mau kalah. Dika menghela napas, merasa lelah menghadapi kelakuan Mamanya yang tak ada ubahnya.

Dika mendudukkan diri di seberang mamanya. "Tunggu aja sampai Devan tau kelakuan Mama selama dia pergi. Dan ... Mama mata-matain siapa lagi selain Devan?"

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang