LIW | 18

53 11 1
                                    

Devan membuka helm full face-nya, menyimpannya di atas jok motor setelah membenahi rambutnya yang terlihat acak-acakan lewat bantuan kaca spionnya.

Seperti yang telah diputuskan oleh Maura, ketiganya kembali ke Jakarta pada keesokan harinya dan mereka bertiga pun berpencar. Mobil Maura berjalan lebih dulu disusul mobil kakaknya yang secara otomatis meninggalkan Devan lewat jalurnya sendiri, jalur alternatif yang bisa dilewati kendaraan roda dua.

Devan tak terlalu mempermasalahkan itu. Justru, ia menganggapnya sebagai suatu anugerah. Berkat itu, ia dapat segera mengunjungi kedua anak buahnya untuk ikut mengawasi pergerakan target dari jauh tanpa perlu banyak beralasan pada Maura; seperti saat ini.

Tanpa membuang banyak waktu, Devan berjalan memasuki basecamp mereka. Dilihatnya Jay yang tengah berfokus pada layar monitor di hadapannya.

"Rhea mana?" sapa Devan basa-basi pada Jay.

"Di dapur, Komandan!" jawab Jay tanpa mengalihkan fokusnya; membuat Devan penasaran.

"Ada kabar terbaru?"

Mendengar pertanyaan dari komandannya itu, sontak Jay menegakkan tubuh. "Siap, ada Komandan!"

Devan berdecak pelan melihat sikap Jay yang menurutnya terlampau berlebihan itu. "Santai aja! Kamu terlalu mencolok." Disebut begitu, Jay salah tingkah. "lanjutkan!" seru Devan kemudian tanpa mempedulikan sikap Jay.

Jay mengernyitkan dahi; tak mengerti. Lagi-lagi, Devan berdecak. "Saya ingin dengar laporan terbaru dari kamu, lanjutkan!"

Selanjutnya, Jay nampak tercerahkan. "Siap Komandan, lapor! Seperti yang sudah saya laporkan kemarin, kami melacak mobil salah satu target berada di dekat komandan. Dan pada hari ini juga saya menerima sinyal bahwa mobil target sudah bergerak menjauhi Lembang."

"Titik koordinatnya," pinta Devan. Jay menyerahkan iPad berisi letak titik koordinat target yang cukup dekat dengan lokasi sinyal dari komandannya kemarin serta letak titik koordinat terkini dari target.

Tanpa diberitahu pun, Devan paham maksudnya. Dalam gambar itu tertangkap dua sinyal dengan warna yang berbeda. Warna biru yang menandakan sinyal dari dirinya dan warna merah yang menandakan sinyal dari target.

"Ada yang lain?"

"Kami juga mendapat rekaman suara beberapa menit setelahnya. Seperti sambungan telepon yang sayangnya tidak dapat kami identifikasi. Mereka berkomunikasi lewat saluran aman yang sulit dilacak. Suatu inovasi baru dalam bidang teknologi yang masih belum bisa saya pecahkan dan nampaknya power yang mereka punya tidak main-main karena mereka bahkan telah berhasil membuat saluran aman sendiri," lanjut Rhea dari arah dapur sambil menggenggam secangkir kopi panas yang baru ia seduh.

Devan menatap ke arah Rhea yang kemudian segera bersikap; memberi gerakan hormat pada Devan. Sikap hormatnya itu baru ia turunkan sesaat setelah Devan membalas hormatnya.

"Kalian dapat rekamannya?" tanya Devan kemudian. Rhea mengangguk sekali. Ia lantas melirik ke arah Jay; memintanya untuk memutar hasil rekaman telepon yang berhasil mereka rekam kemarin.

"Kamu masih di Lembang, kan? Kebetulan, Kakak juga dalam perjalanan ke sana."

Devan mengernyitkan dahi. Rasanya ia mengenali suara itu.

"Kamu tanya biar apa? Ya, kakak kangen, lah! Kamu gak kangen sama Kakak?"

Sampai bagian sini saja rupanya Devan sudah merasa yakin dengan tebakannya di awal. Namun ia tetap menahan diri; tak ingin bersikap gegabah.

"Problems? Harusnya kakak yang tanya itu ke kamu. Kamu ada masalah?"

Dan rekaman pun terputus.

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang