LIW | 28

64 10 2
                                    

Devan memperhatikan gerak-gerik Maura yang bersikap seolah ruangan rawat inap Devan adalah ruangannya juga. Dengan santainya, Maura memindahkan barang bawaannya dari dalam koper ke dalam lemari yang sudah disediakan di sana. Maura menempatkan baju-bajunya di samping baju-baju milik Devan seolah itu hal yang biasa.

Sambil terus memperhatikan Maura yang sibuk menata barang-barangnya seraya bersenandung riang, Devan mendengus pelan. Sudah jelas Maura menyembunyikan bebannya di hadapan Devan dan mirisnya, Devan sudah dapat menebak tujuannya.

Tak lama, pintu terbuka dan menampilkan sosok perawat yang membawa troli dorong berisi makanan. Maura yang menyadari itu segera bangkit dan mengambil alih tugas si perawat. Setelah ia mengucapkan terima kasih, perawat itu pun pamit undur diri.

Dengan telaten, Maura membuka plastik yang membungkus makanan-makanan itu sebelum menyuapkannya pada Devan. Devan menolak. "Aku bisa makan sendiri!" tolaknya sambil mencoba mengambil sendok dari tangan Maura. Dengan gesit, Maura menjauhkan sendok itu.

"Aku suapin."

Devan berdecak kesal. "Yang lumpuh itu kakiku! Aku bisa makan sendiri!"

Mendengarnya, Maura tersentak pelan. Tak lama, ia membenarkan raut wajahnya dan membalas, "Aku cuma mau suapin kamu aja. Itu doang."

"Aku gak suka! Aku gak mau!" tolak Devan lagi. Maura menghela napas berat dan memutuskan untuk mengalah. Ia meletakkan sendok itu dalam genggaman Devan sebelum kembali menata barang-barang.

Devan menatap dingin ke arah Maura sambil berharap semoga Maura segera menghilang dari pandangannya.

***

Devan bergerak gelisah dari atas kasurnya yang sempit. Hari sudah malam dan dilihatnya Maura sudah tertidur di atas sofa berukuran kecil yang tidak jauh dari bed­-nya berada.

Sebenarnya itu sedikit mengganggu pikiran Devan, namun dibandingkan itu, ada perkara lain yang lebih mengganggunya.

Devan butuh ke toilet dan ia tak bisa melakukannya sendirian.

Ia butuh bantuan orang lain.

Normalnya, ia butuh bantuan seorang ners. Namun, ia merasa tak nyaman dengan itu. Menjadi orang lumpuh yang tidak berguna memang melelahkan. Terlebih perasaannya juga ikut teriris saat menyadari kenyataan bahwa ia hanyalah beban bagi keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Itu sebabnya ia ingin menjauh dan menyendiri agar tak banyak menyusahkan orang lain.

Tak tahan lagi, Devan bangkit dari tidurnya. Ia mencoba sekuat tenaga meraih kursi roda di samping bed-nya sebagai alat bantu. Namun, ia malah memecahkan gelas yang disimpan di atas meja nakas hingga membangunkan Maura.

Devan merutuk kesal. Maura segera menghampiri Devan dan membantunya menaiki kursi roda. "Mau kemana?" tanyanya kemudian saat berhasil membawa Devan ke atas kursi rodanya dengan susah payah.

Devan tak menjawab dan segera membawa kursi rodanya menuju kamar mandi yang terletak di seberang bed-nya. Sedikit banyak, Maura mengerti soal perubahan Devan. Devan tengah menghadapi hal yang sulit dan mustahil jika ia tak tertekan. Jadi Maura hanya bisa memahami segala tingkah laku Devan yang masih terlihat 'baru' di matanya itu.

Cukup lama berada di dalam kamar mandi, Devan kembali dengan kondisi celana yang setengah basah akibat terkena air. Entah bagaimana ceritanya. Dilihatnya lantai dekat kasurnya yang telah bersih dari serpihan kaca hasil kerja Maura. Dan lagi-lagi, Devan merasa marah. Ia kesal pada dirinya sendiri yang benar-benar tak berguna dan hanya menjadi beban saja.

Maura tak banyak bicara. Ia melihat celana Devan yang basah dan segera mencari celana ganti untuk Devan agar ia dapat tidur dengan nyaman. Setelahnya, ia memberikan celana berbahan katun pada Devan. Devan menerimanya dalam diam.

Maura masih tahu batasan. Meski ia ingin membantu Devan; apapun itu, namun Maura masih mengenal arti kata 'privasi'. Jadi, ia membalikkan tubuhnya. Kembali membersihkan lantai takut-takut ada serpihan kaca yang tidak tersapu sambil menunggu Devan selesai dengan 'urusannya'.

"Aku dah selesai. Kamu bisa balik badan," ucap Devan setelah menunggu beberapa lama.

Dengan cepat, Maura membalikkan badan hingga menatap ke arah Devan yang tertunduk malu. "Sini, aku bantu kamu naik ke kasur."

"Gak perlu. Aku ... pasti bisa naik sendiri. Itu gampang," tolak Devan. Kalau diingat-ingat, sudah berapa kali Devan menolak bantuan Maura?

Maura yang mengerti perasaan Devan, tak banyak memaksa. Diam-diam, Maura berjaga dibalik punggung Devan, takut-takut Devan kehilangan keseimbangan.

Setelah Devan berhasil memanjat naik ke atas kasurnya, Maura membentangkan selimut ke atas badannya hingga menutupi dada. "Good night, Devan."

Dan ucapan selamat tidur dari Maura itu tak mendapatkan balasan apapun dari Devan.

Dan ucapan selamat tidur dari Maura itu tak mendapatkan balasan apapun dari Devan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Update tipis-tipis dulu aja yahh

Happy satnite!

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang