LIW | 31

63 8 2
                                    

Maura keluar dari ruang rawat Devan diikuti oleh Joe, membiarkan Devan dan Bram mengobrol sejenak di dalam. Saat keduanya telah jauh dari tempat Devan dirawat, Maura mengeluarkan suara. "Kak Joe," panggilnya pelan. Joe membalasnya dengan dehaman pelan. "Hati-hati," lanjut Maura sambil berbisik pelan, hampir tak dapat didengar oleh Jonathan.

Jonathan hanya membalasnya dengan tawa pelan yang langsung dihadiahi tepukan pelan di bahu oleh Maura. "Serius!" sentaknya kemudian. Seketika, Joe menghentikan tawanya.

"Iya, pasti. Kakak akan hati-hati."

"Pulang dengan selamat, dalam keadaan hidup, tanpa cacat satupun. Kakak gak kayak Devan. Seenggaknya, Devan punya aku yang akan bantu dia 24/7."

Jonathan mencibir, "Iya, iyaa... Dasar bucin!"

Tanpa dapat dicegah, kedua tangan Jonathan telah mengacak-acak rambut Maura gemas. Maura berseru kesal sambil mencoba menghentikan tingkah menyebalkan kakak sulungnya itu.

"Jangan lupa pamitan juga ke Mamah, Papah, sama Kak Rama."

"Iya, iya... Bawel!"

"Iih! Aku serius!"

"Kakak juga serius. Pasti kakak pamitan sama Mamah-Papah juga."

"Kak Rama juga."

"Iya, pamitan sama Rama juga."

Maura tak lagi mengeluarkan suara. Keadaan di sekitar mereka berubah menjadi hening. Hening yang entah mengapa membawa rasa sendu.

Jonathan hendak mengakhiri percakapan mereka saat Maura tiba-tiba saja sudah terisak pelan. Joe kebingungan. Dengan sigap, ia membawa Maura ke dalam pelukannya. Berharap tangisnya mereda yang justru malah terjadi sebaliknya. Tangis Maura semakin kencang, ia histeris.

"Kak Joe jangan pergi. Di sini aja. Jangan ikut misi itu," ucap Maura dalam tangisnya.

Joe mengusap punggung Maura, mencoba menenangkannya sambil memberi pengertian. "Gak bisa gitu dong, Dek. Gimana pun juga, ini udah jadi tugas kakak. Tanggung jawab kakak. Lagipula, ini bukan misi pertama kakak. Iya, 'kan?"

Itu benar. Dan ini bukan kali pertama mereka berpamitan. Meski begitu, entah mengapa Maura merasa berbeda dengan misi yang satu ini.

Joe mengerti perasaan Maura. Adiknya itu hanya tak terbiasa dengan semua yang terjadi belakangan ini. Ini kali pertama Maura terlibat dalam misi sehidup-semati. Ditambah, ia mendapati Devan dalam keadaan yang kritis di tengah misi. Maura syok dan mungkin juga trauma. Perasaan-perasaan yang coba Maura pendam selama ini, kini tak tertampung lagi hingga akhirnya histeris dalam pelukan Joe.

"Hey, I will be okay. I will go back alive. I promise," ucap Joe berjanji dengan sungguh-sungguh. Rasa gelisah Maura sedikit demi sedikit mulai berkurang saat mendengar janji Jonathan itu. Setelahnya, ia menarik diri dari pelukan Jonathan sambil mengusap kedua matanya yang digenangi air mata.

"Awas aja!" ancam Maura dengan mata membesar yang menurut Joe imut.

"Iyaa... mending sekarang kamu cuci muka dulu sana. Malu ih, ingusnya kemana-mana!" goda Joe yang membuat Maura memekik kesal. Namun tanpa bisa dicegah, Maura berjalan menuju toilet lebih dulu sebelum kembali ke ruangan Devan.

***

Bram dan kakaknya telah menghilang sesaat setelah Maura kembali dari kamar mandi. Hanya ada Devan yang terduduk di atas kursi rodanya sambil membaca buku di tangan.

"Mereka udah pergi?" tanya Maura.

Devan menurunkan buku yang menutupi wajah dan menatap Maura yang tengah berjalan mendekatinya. "Iya. Mereka harus siap-siap untuk misi."

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang