Halo! Aku sedang melarikan diri dari kenyataan yang gak ada jedanya, jadi aku curi-curi waktu untuk kembali nulis.
WARNING: Beberapa dari kalian mungkin akan merasa tidak nyaman dengan percakapan Devan dengan kawan lamanya ini. Yah, lebih ke disgusting kali ya. Sorry, but I have to 'mendalami peran' wkwk
***
Suara langkah kaki bergema menyusuri apartemen kumuh lima lantai yang nampaknya sudah mulai ditinggalkan penghuninya satu per satu.
Dengan penuh rasa percaya diri, Devan berjalan menaiki tangga yang dipenuhi debu hingga sampai di lantai teratas.
Jangan berharap pada elevator. Salah satu temannya yang lama bertahan hidup di apartemen tak layak ini sudah banyak menceritakan kejadian dirinya terjebak di lift yang sudah seharusnya dipensiunkan itu.
Devan berdiri di depan pintu tempat temannya itu tinggal. Kamar apartemen itu berada di ujung lorong sebelah kanan. Pintunya dipenuhi stiker-stiker band rock terkenal pada masanya sebagai hiasan yang tak ada unsur estetikanya sama sekali.
Ia mengetuk pintu di hadapannya beberapa kali. Namun sang penghuni nampak tak jua membukakan pintunya. Devan mulai merasa kesal. Ia kembali menggedor pintu itu keras-keras. Selang beberapa menit, pintu tak juga terbuka. Sebagai upaya terakhir, Devan terpaksa mendobrak pintunya karena terlampau emosi.
Masih dengan napas yang menderu, Devan melangkah kesal menghampiri sang kawan lama sambil mencabut headphone yang terpasang menutupi kedua telinganya. Diliriknya layar komputer yang menjadi fokus utama sang pemilik apartemen sekilas dan Devan pun menghela napas berat.
"Anjing!" umpat sang sahabat karib penuh rasa kesal. Ia mendongakkan wajah sambil tetap berada dalam posisi cabulnya dan terdiam membeku saat menatap Devan yang telah berdiri di hadapannya sambil memberinya tatapan tajam.
"Bokep aja terus! Dasar mesum!" seru Devan memuntahkan rasa kesalnya. Namun itu hanya membuat kawannya tertawa.
Geri bangkit dari duduknya, membenarkan celana pendeknya sebentar dan langsung menggenggam tangan Devan; menganjaknya untuk bersalaman. Belum ada semenit, Devan berusaha keras melepaskan genggaman itu.
"Long time no see, buddy."
Devan tak membalas. Ia sibuk mengelap sebelah tangan yang tadi digenggam Geri pada kaos temannya itu yang sama sekali tak menghindar. "Disgusting."
Geri tak merasa terhina atas ucapan temannya itu. Malahan, ia hanya menanggapinya dengan tawa yang keras. "Hiburan, bro. Biar tetep waras," balas Geri membela diri.
Devan melangkah menjauh menuju satu-satunya sofa di kamar itu. Sofa reyot yang seharusnya sudah tidak boleh dipakai lagi. Ia melihat seisi apartemen temannya itu dan berkata, "Gak ada satu pun yang berubah sejak terakhir kali gue kesini dari apartemen gak layak huni ini. Udah kena penyakit apa aja lo?"
Lagi-lagi Geri tertawa mendengar sarkasme kawan lamanya itu. Ia melangkah mendekati Devan dan duduk di sampingnya. "Yah, gak sedikit. Kadang gue pikir gue udah kena semua jenis penyakit."
"Dan gue heran karena lo masih hidup," sambung Devan.
Geri menggedikkan sebelah bahu. "Mungkin karena lo masih butuh gue, jadi gue sulit untuk mati."
Devan terdiam. Kedua manik matanya menatap Geri lekat-lekat. Dan yang ditatap merasa tak nyaman. "Jangan tatap gue kayak gitu!"
Namun Devan tak menggubris. "Lo gak ada keinginan buat pindah apartemen? Tempat ini bahkan gak bisa disebut apartemen atau tempat tinggal. At least, lo harus ikut pindah kayak penghuni lainnya sebelum aliran listriknya dicabut. Right?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover In War | ✔
ChickLit[ Seri ketiga dari Marriage In Rush ] 𝐜𝐡𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭 - 𝐫𝐨𝐦𝐚𝐧𝐜𝐞 - 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐚 𝐬𝐥𝐢𝐠𝐡𝐭𝐥𝐲 𝐚𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 *** Menjadi owner online shop produk kecantikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan mencari pasangan untuk diajak menikah juga hal yan...