LIW | 8

84 12 2
                                    

Devan melenggang masuk ke dalam apartemen kumuh yang baru saja dikunjunginya kemarin. Pintu masuk yang jebol karena ulahnya sendiri itu memudahkan Devan untuk menerobos ke kediaman kerabat lamanya tanpa perlu bersusah payah menggedor-gedor lagi.

Dengan sorot matanya yang kuyu karena kekurangan tidur, dapat ia lihat Geri tengah sibuk mengotak-atik komputernya. Ia mengabaikan itu dan memilih untuk merebahkan diri di atas kasur kapuk yang diamparkan di atas lantai. Sejenak, ia memejamkan mata. Namun sebelum itu, ia menyempatkan diri untuk mengejek Geri terlebih dahulu.

"See? Apa yang dibilang para peneliti itu bener, 'kan? Otak lo menyusut dan terus menyusut sampai seukuran kacang ijo setiap lo nontonin bokep."

Geri yang sedari tadi fokus ke pekerjaannya memutarkan badan dan menimpuk Devan tanpa ragu dengan botol semprot anti nyamuk yang telah kosong hingga mengenai tubuhnya. "Brisik!"

Namun Devan hanya membalasnya dengan tawa. Ia melipatkan sebelah tangan dan memposisikannya hingga menutupi kedua mata hingga ia pun kehilangan kesadarannya. Sedangkan Geri telah kembali sibuk dengan urusannya.

***

Devan dibangunkan oleh suara sirene yang cukup kencang. Dengan sigap, ia bangkit dari posisi tidur dengan mengabaikan rasa pusing yang menderanya. Geri, yang tengah sibuk menyesap kopi hitamnya, segera menghentikan langkah Devan dengan sekuat tenaga. Ia menepuk-nepuk kedua pipi Devan secara bergantian agar temannya itu segera sadar.

"Wake up, Bro! Wake up!"

Devan tersentak pelan begitu menyadari jarak antara ia dan Geri yang tak ada satu jengkal. Dengan gerakan cepat, ia menyingkirkan Geri dari hadapannya. Tubuh Geri terantuk pada ujung meja kecil yang ada di belakangnya hingga ia mengumpat kesakitan. Namun Devan terlihat tak peduli dengan rasa sakit yang diderita Geri. Ia sibuk menajamkan pendengaran dan nampak mencari-cari asal suara sirene yang baru saja ia dengar beberapa detik yang lalu.

Ia bergerak ke arah jendela dan mencari-cari keberadaan mobil bersirene itu yang tak dapat ia temukan. Geri menatap Devan dengan pandangan yang sulit diartikan. 

"Lo cari apa, Bro? Ngelindur ya lo?" tanya Geri kemudian.

"Sirene. Lo denger juga, 'kan? Suaranya kenceng seolah-olah itu ada di sebelah gue," balas Devan dengan nada gusar.

"Sirene?" ucap Geri membeo. 

"Mobil ambulans atau mobil polisi, I don't know. Yang pasti itu suara sirene," jelas Devan masih sambil mencari keberadaan mobil bersirene yang ia sebutkan barusan.

Geri mencoba menarik Devan dari jendela apartemennya dan mencoba menyadarkan Devan untuk kedua kalinya. "Lo mimpi, Bro. Lo ngelantur. There are no ambulances or police cars. No siren here."

Untuk sesaat Devan termenung. Ia ingin sekali menyangkal ucapan Geri, tapi ia sendiri bahkan tak dapat membuktikan bahwa suara sirene itu nyata. Pada akhirnya, ia menyerah dan menganggap suara itu halusinasi semata.

Jadi,Devan mengalihkan topik pembicaraan mereka pada hasil observasi yang Geri dapat. Hasil observasi rasanya terlalu berat, tapi Devan tak punya kosakata lain yang dapat menggambarkan pekerjaan Geri.

"Itu bukan narkoba. I mean, maybe that's a drug. Tapi gue gabisa cari info lebih banyak selain kenyataan kalau itu diproduksi dan didistribusikan secara terbatas. Hanya ada dua juta kapsul di dunia, tapi gue rasa angkanya akan semakin bertambah setiap tahunnya. Tergantung respon di pasaran," jelas Geri secara umum. 

Devan nampak tak puas dengan itu. "Any more specific clues?"

Geri mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Devan beberapa kali sambil menyunggingkan senyuman idiotnya. Ia melangkahkan kaki menuju 'meja kerjanya' dan mengambil bundelan kertas yang telah diklip sebelum memberikannya pada Devan. Devan menerima bundelan itu dan membacanya dengan cermat sambil Geri menjelaskan hasil observasinya secara singkat.

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang