LIW | 35

55 7 2
                                    

Di rumah sakit, Maura mendampingi Devan yang baru selesai menjalani terapi hariannya. Kini, keduanya tengah duduk berhadapan dengan sang dokter guna pemeriksaan lanjutan sambil dilihatnya hasil tes kesehatan milik Devan.

"Hasilnya sudah oke. Kondisi Tuan Devan sudah lebih baik dari sebelumnya. Saya lihat-lihat juga jalannya sudah mulai lancar, ya?"

Maura mendahului Devan yang terlihat akan menjawab dengan senyum lebar. "Iya, Dok. Tapi katanya masih lumayan kerasa sakit kalau diajak jalan lama. Dan jalannya masih perlu dibantu tongkat biarpun beberapa hari ini mulai belajar untuk lepas alat bantu."

"Itu reaksi yang normal, kok. Nanti perlahan-lahan rasa sakitnya juga gak akan kerasa lagi. Obat pereda sakitnya jangan lupa diminum secara teratur."

"Siap, Dok!"

"Ada keluhan lain?" tanya sang dokter lagi yang kini dijawab anggukan oleh Devan. "Telinga saya, Dok."

"Dengungnya terasa kembali?"

"Untuk dua hari ini, ya." Seketika Maura mengalihkan pandangannya ke arah Devan. Tentu, kabar ini belum pernah ia dengar sebelumnya. Nampaknya Devan sengaja merahasiakan apa yang ia rasakan.

"Seberapa sering?"

"Lima kali dalam rentang 48 jam. Dengungnya terasa kira-kira selama 2-4 menit."

"Baik. Kita akan jadwalkan untuk tes audiometri lusa setelah fisioterapi Anda selesai."

Devan menyetujui ucapan dokter itu tanpa berpikir panjang. Sedangkan Maura yang duduk di sampingnya terlihat gelisah. "Mm, Dok."

Sang dokter menatap Maura yang memanggilnya tiba-tiba diikuti oleh arah pandang Devan yang menatapnya penuh rasa penasaran.

"Devan ... tes audiometri itu ..., he will be alright, 'kan, Dok?"

Dokter itu nampak menghela napas berat sekali sebelum menjawab, "Kita harap begitu. Hasil akhirnya akan kita ketahui nanti."

Sudah jelas, ucapan dokter itu tak membantu menghilangkan perasaan gelisah yang Maura rasa.

***

Maura membantu menyimpan tongkat jalan yang baru saja dipakai Devan sesaat setelah Devan mendudukkan diri di atas ranjangnya. Keduanya kini telah kembali ke ruang inap setelah melalui proses fisioterapi dan pemeriksaan rutin yang panjang.

Devan mengikuti gerak-gerik Maura yang memamerkan raut wajah kusutnya. Nampak jelas di matanya perasaan Maura yang kalut.

"Masih mikirin tes audiometri aku?" tanya Devan kemudian. Maura berbalik dan melangkah maju mendekati Devan sambil menganggukkan kepala. "Aku khawatir."

"Kenapa? Kamu gak terbiasa sama orang tuli, ya?" tembak Devan yang terdengar nir-empati di telinga Maura. Maura berdecak kesal. "Bukan itu poinnya, Devan. Aku cuma berharap kamu baik-baik aja."

"Itu gak mungkin, Maura." Devan membalas ucapan Maura tanpa ragu. Maura mendudukkan dirinya di samping Devan sambil mendengarkan lanjutan ucapannya. "Sejak aku masuk ke rumah sakit ini, aku yakin kalau aku gak baik-baik aja. Jadi, kenapa emangnya kalau aku divonis tuli? Itu gak merubah apapun. Aku akan tetap dipurnatugaskan."

Maura sudah ingin protes saat ponsel Devan berdering. Diraihnya smartphone itu dari atas meja dengan bantuan Maura. "Bram," ucap Maura kemudian menyebutkan caller id sang penelpon.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, Devan segera mengangkat panggilan itu dengan semangat empat-lima. Maura mengamati percakapan keduanya dalam diam. Tak lama, panggilan itu berakhir. Devan menyimpan ponselnya di atas nakas dan menatap Maura penuh arti.

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang