LIW | 12

52 9 0
                                    

Layanan kamar datang dua puluh menit kemudian. Waktu yang cukup lama dari yang Maura harapkan. Namun, sepertinya itu waktu yang cukup untuk Devan beristirahat.

Ia lantas menyimpan selimut tambahan di atas kasur dan menata makan malam pesanannya di meja kecil lainnya yang berada di dekat sofa dengan hati-hati; takut membangunkan Devan.

Namun sepertinya, suara-suara kecil yang Maura hasilkan mampu membangunkan Devan. Tidak, Devan tidak bangun. Itu lebih seperti igauan.

"Lari! Cepat, cepat! Tidak ada waktu lagi. Saya bilang lari, lari!"

Maura sempat terkejut dengan igauan itu. Ia memperhatikan Devan dengan saksama, enggan membangunkan. Tapi igauan itu terlihat semakin parah. Kini, wajah Devan bahkan sudah dipenuhi keringat.

Aneh. Udara Lembang di malam hari jauh lebih dingin daripada siang hari. Mustahil kalau Devan merasa kepanasan. Devan sendiri yang bilang sebelumnya kalau ia sedikit kedinginan.

Jadi dapat Maura simpulkan bahwa mimpinya itulah yang membuat Devan berkeringat.

Racauan Devan sudah tak lagi terdengar, namun Devan nampak gelisah dalam tidurnya. Maura menyentuh bahu Devan dan menggoyangkannya perlahan; kali ini ia mencoba membangunkannya.

Bukannya bangun, Devan malah terduduk sambil memasukkan sebelah tangan ke dalam jaket; mencoba merogoh sesuatu yang ternyata ponselnya, dan menodongkannya ke sembarang arah layaknya tengah memegang senjata api.

Maura semakin kebingungan melihat igauan Devan yang berlagak bagaikan seorang prajurit yang tengah menodongkan pistolnya. Memangnya dia pikir, siapa dia? Kenapa bisa berperan sebagai polisi bahkan di dalam tidurnya?

Saat Maura menatap ke arah Devan lagi, dia telah membuka kedua matanya lebar-lebar. Nampak telah sepenuhnya sadar.

"Mimpinya, rame? Jadi apa kamu di sana? Polisi?" tanya Maura sarkas; setengah mengejek. Devan tak menjawab. Ia menggosok hidungnya sekilas, mencoba menghiraukan pertanyaan Maura.

Maura juga tak ingin membahas mimpi absurd Devan lebih lama. Ia menunjukkan makan malam yang baru saja dipesannya pada Devan.

"Aku ragu kamu udah makan malam. Jadi aku pesenin makan."

Devan menatap makanan yang dimaksudkan Maura sekilas dan menggumamkan kata terima kasih.

"Habis makan, kamu bisa pergi dari sini," lanjut Maura lagi.

"Pergi?" tanya Devan membeo. Maura mengangguk. "Iya, pergi. Kamu gak berpikir akan tidur di sini, 'kan? Di pondok aku?"

Devan tak menjawab. Rupanya, memang itu yang ia pikirkan sebelumnya. Maura tertawa patah-patah; tak habis pikir.

"Penginapan ini sepi. Ada banyak pondok kosong di sini dan kenapa kamu harus tidur di pondok aku?"

"Karena ... I'm not developed enough than you?"

Maura mengernyitkan dahi, tak paham. Sontak, Devan mengoreksi jawabannya. "Maksudnya, keadaan ekonomiku gak semakmur kamu. Jadi... Maybe we can share a room for one night."

"Dasar kaum ekonomi lemah!" ejek Maura dengan sadisnya. Devan menelan ejekan Maura dalam diam.

Biarkan saja. Nanti saat waktunya sudah tiba juga keadaan akan memutarbalikkan segalanya.

"Aku gak mau kita ada di pondok yang sama. I need privacy! Jadi, malam ini aku sewain pondok buat kamu. Just for one night. Besok pagi, kamu harus udah pergi dan jangan nunjukin wajah kamu itu di hadapan aku. Got it?"

Devan menjawabnya dengan gedikan pada sebelah bahu. Terlihat begitu mengesalkan di mata Maura. Jadi untuk mengusir rasa kesalnya, Maura keluar dari pondok; bermaksud untuk memesan satu pondok lain untuk Devan selagi ia makan malam.

Saat memastikan Maura telah benar-benar pergi, Devan bergerak mendekati nakas di samping kasur dan mengambil ponsel Maura. Ia merogoh saku jaket bagian dalam untuk mengambil sebuah alat berbentuk pipih mirip flashdisk yang langsung ia masukkan pada ponsel Maura. Seketika, kunci layar pada ponsel Maura terbuka dan secara otomatis alat itu mentransfer seluruh data yang ada di dalamnya. Tak lupa, Devan juga memasang penyadap dan mengaktifkan GPS-nya hingga terhubung pada perangkat Devan. Selain itu, Devan juga meletakkan alat penyadaplain di bawah ranjang Maura untuk berjaga-jaga.

Devan menyelesaikan urusannya dengan cepat saat mendengar langkah kaki yang bergerak mendekati pintu masuk. Ia meletakkan ponsel Maura di tempatnya semula sehati-hati mungkin dan berjalan menjinjit dengan langkah kaki lebar-lebar untuk kembali ke tempat duduknya. 

Tak lama kemudian, Maura memasuki pondok sambil membawa kunci pintu pondok lain di tangan. Dilihatnya Devan yang tengah menyantap makan malamnya dengan tenang. Entah mengapa, rasa jengkel pada diri Maura yang tadi mereda datang kembali saat menatap pria di dalam pondoknya itu. 

Ia mencoba mengabaikan perasaan jengkelnya sejenak dan berjalan menghampiri Devan sambil menyodorkan sebuah kunci dengan gantungan kunci berangka 15. Devan menerima kunci itu dengan tangan terbuka. 

Tanpa mengacuhkan keberadaan Devan, Maura melangkah ke tempat tidurnya dan merebahkan diri di sana. Diambilnya telepon genggam yang ia letakkan di atas nakas untuk ia mainkan. 

"Kalo udah beres, langsung pergi dari sini. Ah, jangan lupa bawa juga piring-piringnya. Nanti bakal ada yang angkut, sih. Cuma, nanti ganggu lagi. Jadi, sekalian aja lo yang bawa biar gue bisa istirahat total--tanpa gangguan, sama sekali." 

Devan tak membalas, ia sibuk mengunyah makan malamnya dengan tenang. Maura melirik ke arah Devan saat ia tak mendapatkan jawaban yang ia mau dan berdecak kecil saat dilihatnya Devan yang tengah sibuk menghabiskan santapannya.

Sambil menunggu Devan selesai, Maura beranjak dari tempat tidur menuju cermin kecil di pojok ruangan. Daripada membuang waktu tak berguna, ia pikir ini waktu yang tepat untuk memulai skincare routine-nya.

Devan selesai lima menit kemudian. Piring-piring kotornya Devan satukan di nampan besar yang ada di atas meja. Ia mengangkat nampan itu dan berjalan keluar--mengikuti intruksi Maura sebelumnya.

"Thanks buat makan malem dan pondoknya. Next time, aku yang traktir."

Maura berdecih pelan mendengar ucapan Devan di depan pintu. Dengan sedikit berteriak, ia berkata. "Gak ada next time-next time-an! Lagipula, gak perlu juga bilang makasih. Makan malem dan pondok kamu itu diambil dari gaji kamu bulan depan!"

Devan yang mendengar itu membulatkan kedua bola mata. "Apa?!"

Maura menaikkan kedua bahu acuh tak acuh. Sambil menepuk-nepuk pelan kedua pipinya, ia melangkah mendekati Devan. "Yah, istilahnya ... apa itu? Kasbon? Aku gak pernah kasih kasbon ke karyawan-karyawanku yang lain. Cuma ke kamu aja. Jadi, kamu boleh merasa spesial dengan itu."

Devan memberengut di dalam hati. Merasa spesial apanya

Belum sempat Devan membalas, pintu di hadapannya sudah tertutup rapat. Ia sempat terperanjat pelan oleh suara bantingannya. "Dasar Medusa!" desisnya pelan sebelum melangkahkan kaki menjauh dari pondok bosnya itu.

 "Dasar Medusa!" desisnya pelan sebelum melangkahkan kaki menjauh dari pondok bosnya itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang