LIW | 1

201 17 3
                                    

Maura mendengus melihat Devan yang tak henti-hentinya menggoda dirinya dengan kedipan mata jahil yang ia lontarkan ke sekian kalinya. Padahal Devan sendiri tahu, Maura paling tidak suka cowok centil semacam itu.

"Jadiin aku calon kamu, pliisss..." bujuk Devan lagi. Maura berdecak kesal.

Sejak Devan mendengar percakapannya dengan Laura lewat sambungan telepon barusan yang sengaja ia keraskan, Devan jadi semakin menyebalkan. Ia tak henti-hentinya membujuk Maura untuk menjadikannya calon suami. 

Itu bukan hal yang terlalu mengejutkan. Devan memang selalu seperti itu sejak ia mengetahui soal taruhan itu. Devan juga sudah bertingkah aneh sejak awal kedatangannya yang mencurigakan karena duduk diam di depan toko dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia juga selalu menyatakan rasa sukanya pada Maura di setiap waktu. Awalnya, Maura merasa risih dan telah berulang-ulang kali meminta Devan menghentikan sikap menjijikkannya itu. Namun pada akhirnya, ia menyerah. Devan bukan orang yang dapat dihentikan. Meski begitu, Maura tak pernah menganggap serius pernyataan suka dari Devan. Baginya, itu terdengar seperti omong kosong.

Maura mengambil tumpukan barang pesanan dan menyerahkannya pada Devan. "Jangan mimpi! Mending kamu urus ini semua. Pastiin gak ada yang lecet satu pun dan bungkus yang rapi. Jangan buat toko ini bangkrut karena packaging-nya yang nggak banget!"

Devan menerima barang-barang itu dengan sedikit kesusahan karena kuantitasnya yang lumayan banyak. Agar tidak terjatuh, ia bahkan harus menyimpan barang-barang itu dalam pelukannya. Dengan sedikit menggoda, Devan menjawab. "Nggih, Ndoro Ayu." 

Maura mendengus. Dipanggil begitu ternyata mampu membuat kedua pipinya memerah; tersipu.

"Udah sana! Kerja yang bener, yang rajin! Kerja kok bolong-bolong? Untung aku baik. Kalo nggak, kamu udah aku PHK dari lama."

Habis mendumel seperti itu, Maura langsung saja berlalu pergi. Rasanya ia tidak bisa berlama-lama ada di ruangan yang sama dengan Devan atau kepalanya akan pecah mendengar rengekan-rengekannya yang menyebalkan itu. Jadi, ia lari ke lantai atas tempat ruang kantornya berada. Tempat paling sunyi yang ada di ruko.

Barusan, ia ditelepon oleh Laura--lagi. Ini sudah yang kelima kalinya dalam tiga hari terakhir. Dan isi pembicaraannya tidak jauh-jauh dari 'pernikahan'. Kadang, Maura merasa aneh pada Laura. Sudah dijahili dan ditipu habis-habisan seperti itu bukannya merasa jera, malah semakin menjadi-jadi. Untung kali ini Laura tidak bertindak nekat seperti di putaran pertama. Maura tidak bisa membayangkan tokonya collapse untuk yang kedua kalinya. 

Mengenang kembali masa-masa collapse yang begitu mengerikan bagi Maura nyatanya mampu mengingatkannya kembali pada pertemuan tak sengaja antara ia dengan Devan. Hari itu, toko begitu sepi dan sengaja Maura tutup. Hanya ada dirinya saja yang sibuk berleha-leha di sana. Para pekerja yang jumlahnya tidak banyak itu telah diliburkan oleh Maura untuk beberapa hari ke depan. Setidaknya hingga Laura berbaik hati untuk tidak mengganggu bisnisnya hanya karena taruhan konyol mereka. 

Saat itu, Maura tengah bersantai di lantai atas sambil melihat ke arah jendela. Diluar cuaca tengah mendung. Gelap menyelimuti seisi ruangan. Kilatan petir yang diikuti suara gemuruhnya terdengar saling bersahutan dan terasa begitu dekat. Namun itu semua tak membuat Maura ketakutan. Ia terlihat tak terpengaruh dengan kondisi alam diluar sana. Ia terlihat nyaman menyendoki bucket es krim vanilla kesukaannya sementara otaknya sibuk berpikir keras; memikirkan masa depan tokonya yang tengah di ujung tanduk. Rupanya, masa depan toko kecantikannya masih jauh lebih penting dibanding cuaca buruk di luar sana.

Namun karena buntu, Maura memilih untuk menyerah. Untuk sementara, ia akan memikirkan nasib tokonya di lain waktu. 

Ia menutup bucket es krim dalam genggaman dan menyimpannya kembali ke dalam kulkas mini yang sengaja ia simpan di ruangan. Ia melirik sekilas ke arah jendela besar di depannya sambil menghela napas berat. Hujannya turun dengan begitu deras. Kilatan petir dan suara guntur yang sedari tadi terus terdengar semakin menimbulkan kesan menakutkan. 

Kedua kaki Maura melangkah perlahan mendekati jendela; bermaksud menutup tirai yang terbuka. Namun, gerakannya terhenti saat ia melihat seorang lelaki yang berdiam diri di bawah hujan deras. Maura tak ingin peduli dengan lelaki itu. Ia pikir, lelaki itu orang aneh yang memilih hujan-hujanan dibanding meneduh. Atau kalau tidak, lelaki itu bisa saja ikut menumpang berteduh di depan rukonya. Namun, lama menunggu, lelaki itu tak jua beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan hujan telah bertambah deras detik demi detiknya.

Maura mendengus kesal. Ia menutup tirai dengan gerakan kasar dan mengambil payung di pojok ruangan. Dengan kaki menghentak-hentak, Maura berjalan keluar ruangannya. Berniat untuk menemui sang lelaki aneh itu. Dalam hati, ia berseru kesal pada dirinya sendiri. Maura tak menyukai sikapnya yang mudah merasa simpati dengan orang lain yang bahkan tak dikenalinya. 

***

Di lantai dasar, Devan sibuk membungkus berbagai macam produk-produk kecantikan yang dilimpahkan Maura padanya dengan serapi mungkin. Devan juga memastikan bungkusan itu tidak salah kirim. Ia tak tahu apapun soal hal-hal yang berkaitan dengan kecantikan, tapi itu bukan berarti Devan bekerja asal-asalan. Setidaknya, sampai beberapa bulan ke depan. 

Namun belum ada lima menit, aktivitas Devan telah diganggu oleh deringan ponselnya. Ia menerima panggilan itu dengan wireless earbuds berwarna hitam miliknya dan suara sapaan formal pun terdengar di ujung sana.

Devan mendengarkannya secara saksama. Kedua alisnya yang tebal itu nampak saling bertaut. Detik berikutnya, ia telah beranjak dari tempatnya. Meninggalkan pekerjaan yang dilimpahkan Maura sebelumnya.

Dalam pelariannya, Devan mendesah pelan. Nampaknya sehabis ini ia akan diomeli lagi oleh bos perempuannya yang cantik itu.

 Nampaknya sehabis ini ia akan diomeli lagi oleh bos perempuannya yang cantik itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang