LIW | 23

89 13 8
                                        

Maura mengistirahatkan tubuhnya yang terasa remuk di atas ranjangnya. Ia mendesah lega sambil memejamkan kedua mata kala perasaan nyaman menyelimuti dirinya.

Baru sekejap ia merasakan kenyamanan, ponselnya berdering. Maura membiarkan deringan ponselnya untuk beberapa saat karena ia sudah cukup lelah dan hanya ingin berbaring saja. Namun dering ponselnya itu tak juga mereda.

Dengan berat hati, Maura membuka kedua mata sambil sebelah tangannya meraba-raba laci di samping kasurnya; berniat mengambil telepon genggamnya.

"Kenapa, Tan?" sapa Maura kemudian saat mengetahui oknum yang sengaja menelponnya itu; Tintan.

"Lo lagi gak sibuk, 'kan?"

Kalau sudah bertanya begitu, hanya satu kemungkinannya. Tintan ingin mengganggu sedikit waktunya entah dengan agenda apa. Bisa jadi untuk meminta bantuan atau membuka sesi curhat.

Sebagai teman yang baik, Maura membalas, "Lagi nyantai, kok. Kenapa, Tan?"

Setelahnya, nada suara Tintan terdengar lebih baik dari sebelumnya.

"Lo masih inget sama temen kita di SMA dulu, Alam?"

"Alam?" balas Maura membeo sembari mengingat-ingat seseorang bernama Alam yang katanya teman mereka di SMA dulu.

"Anak basket. Kaptennya. Yang selalu dimarahin sama kesiswaan karena selalu pake headband biarpun gak lagi tanding."

Setelah diingatkan begitu, muncullah visualisasi Alam dalam ingatan Maura. "Ohh, Alam yang itu! Kenapa sama si Alam?"

Dan setelahnya, sesi curhat pun resmi dibuka.

Tintan menceritakan banyak hal tentang pertemuannya dengan Alam setelah sekian lama tak saling berkabar. Berawal dari pertemuan tak disengaja di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta beberapa bulan lalu hingga peristiwa confess-nya Alam pada Tintan. Tintan bilang, Alam sudah menyukainya sejak SMA selama tiga tahun berturut-turut. Bisa dibilang, Tintan adalah cinta pertamanya. Dan setelah tahun-tahun berlalu perasaannya pada Tintan masih sama. Bedanya, kini Alam mendapatkan keberanian untuk menyatakan perasaannya.

"Kalo menurut lo, gimana?" tanya Tintan kemudian.

"Gimana apanya?"

Tintan berdecak kesal. "Itu, loh... Si Alam. Terima atau jangan?"

"Dari lo sendiri gimana? Kok malah nanya ke gue, sih? Kan yang di-confess-in elo. Yang punya perasaan juga elo. Kenapa jadi nanya ke gue?"

"Ih, nyebelin ah! Gue tuh nanya karena pengen minta saran dari elo, tauu... Baiknya gimana, tolak apa jangan?"

"Baiknya lo ngobrol sama diri lo sendiri deh, Tan. Maunya lo gimana."

Dari ujung sana, terdengar helaan napas dari Tintan.

"Jujur, gue juga bingung. Maksudnya, selama ini gue selalu anggap dia sebagai teman. Mau segimananya kedekatan kita selama ini, gue selalu melihat dia sebagai teman lama. Jadi pas kemarin dia confess, gue nge-blank sih. Di luar ekspektasi banget!"

"Nah, itu lo udah dapet jawabannya. Kurang jelas apalagi?"

"Iya, sih... Tapi perasaan gak enaknya itu, loh! Gue gak enak nolaknya. Soalnya dia tuh keliatan serius banget waktu cerita soal perasaan sukanya yang dipendem selama bertahun-tahun itu. Dan gue ngerasa kayaknya yang satu ini 'bener', deh. Lo tau sendiri kisah cinta gue jaman SMA gimana. Diselingkuhinnn mulu kasusnya."

Mendengar itu, mau tak mau Maura merasa simpati. "Gimana kalo lo kasih waktu dulu, sebentar. Minta Alam buat nunggu lagi sampai lo bener-bener ngerasa yakin kalo Alam itu 'the one'-nya elo. Sejauh ini lo belum yakin bener, 'kan, sama dia?"

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang