LIW | 14

69 10 4
                                    

Ada kecanggungan yang terasa di antara mereka berdua sejak pembicaraan yang 'cukup' serius itu. Meski menyangkal, nyatanya Maura merasa mereka sudah terlalu jauh untuk sekadar saling mengenal. Apalagi dengan janji yang dilontarkan Devan barusan. Rasanya, itu benar-benar masih jauh. Maura baru akan mencoba membuka hati, tapi Devan sudah memberi janji seperti itu. Yah, meskipun memang itu yang Maura cari.

Jadi sepanjang perjalanan yang tersisa, tidak ada lagi pembicaraan. Keduanya hanya diam menikmati pemandangan alam di sekitar yang jarang sekali mereka lihat.

Hingga sang surya muncul dari tempat persembunyiannya. Bergerak naik secara konstan tiap detik demi detiknya.

Seketika, Maura menghentikan langkah. Ia menutup mata sambil merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Devan ikut menghentikan langkah agar dapat memperhatikan Maura dari balik punggungnya.

Maura berdesah, merasa puas dengan sinar mentari yang perlahan demi perlahan terasa membelai wajahnya.

Melihat itu, Devan terpaku. Ini hal yang baru baginya, termasuk degupan jantungnya yang tak berdetak sesuai irama.

Dalam hati ia bergumam, "Mungkin saja ini yang Jaka Tarub rasa saat melihat sekelompok bidadari memenuhi sungai."

"Aah..," lagi-lagi Maura mendesah pelan membuat Devan tersadar dari lamunannya. "Aku hampir lupa bagaimana rasanya. Aku selalu suka perasaan ini. Begitu damai dan hangat."

Maura kembali membuka kedua matanya. Kedua tangan yang ia rentangkan sebelum kembali ke posisi semula.

Ia lantas menengok pelan ke arah Devan. "Satu hal lagi yang gak banyak orang tahu tentang aku, aku suka keluar di pagi buta untuk sekadar jalan-jalan atau olahraga karena aku selalu suka merasakan suasana peralihan dari gelap menuju terang," Maura mengernyitkan keningnya untuk sesaat saat menyadari kata-katanya yang cukup membingungkan. "Kata-katanya rumit, ya?"

"Yah, seenggaknya aku masih paham apa maksudnya," jawab Devan singkat. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan.

"Mau balik ke pondok?" tanya Devan kemudian. Maura menatapnya lekat-lekat. Entah mengapa, tatapan Maura itu membuat Devan grogi. Ia lantas berdeham sekali sebelum melanjutkan ucapannya. "Ada jalan memutar di depan. Kita bisa sampai di pondok lebih cepat lewat jalan itu. Jadi, kita gak perlu putar balik."

"Kamu hafal banget kawasan ini, ya?" tembak Maura kemudian. Dengan cepat, Devan menyangkalnya.

"Enggak juga. Kemarin karena aku buru-buru nyusul kamu, aku tanya-tanya warga sekitar jalur tercepat ke penginapan. Jadi sekarang aku tau 'jalan belakang' nya."

Mereka berdua akhirnya melewati 'jalan belakang' yang Devan maksud.

"Jadi, ada rencana apa hari ini? Pulang?" tanya Devan kembali membuka pembicaraan.

"Mana ada! Sayang banget kalau pulang hari ini. Aku belum eksplor banyak tempat di sini. Akan lebih baik kalau aku tinggal satu hari lagi."

"Emang kamu mau kemana lagi?" tanya Devan penasaran. Niatnya, ia ingin mengekori Maura selama ia ada di sini.

"Belum ada rencana. Ah, kemarin aku liat brosur 'Paket Pariwisata' yang ditawarkan di sini. Mungkin aku mau ikut salah satunya. Kamu mau pulang hari ini?"

"Mana mungkin! Aku udah susah payah nyusul kamu dan langsung pulang gitu aja tanpa dapat apa-apa? Lebih baik kalau aku memanfaatkan jatah cutiku tahun ini."

Maura mencibir. "Kamu satu-satunya karyawan yang gak punya jatah cuti, tau? Bahkan hitungan bolos kamu aja udah lebih banyak daripada hitungan cuti kamu. Aku ragu kamu bakal dapet gaji tahun ini."

Seketika, Maura bergidik ngeri. "Kamu akan langsung aku blacklist dari daftar calon suami kalau kamu gak punya modal sepeser pun untuk nikahin aku."

Devan tertawa mendengarnya. "Gak perlu dimasukin ke blacklist segala. Aku cukup mampu buat nikahin kamu, kok! Gini-gini juga aku punya uang simpanan tau!"

"Jadi kamu mau pakai uang simpanan kamu itu untuk memperpanjang sewa pondok di sini?" 

Devan menjentikkan jarinya sekali. "Tepat sekali!"

"Tapi sebelum itu, aku perlu pergi ke pasar terdekat untuk beli perlengkapan ganti terutama ..." Devan menggerakkan sebelah bahunya, memberi tanda pada kain yang melekat di tubuhnya. "Aku butuh pakaian ganti."

Maura mengangguk setuju. "Kamu bau!" serunya seketika. Devan langsung saja mengendus dirinya sendiri.

"Masa, sih? Enggak, ah!" sangkalnya kemudian. "Kamu tau? Aku hampir ngehabisin satu botol parfum milik salah satu staf penginapan sebelum pergi ke pondok kamu subuh tadi. Masa masih bau, sih?"

Maura menggedikkan kedua bahunya acuh takacuh. Lagipula, itu hanya ucapan jahilnya saja. Dan sepertinya, Devan tak mau melepaskan topik itu. Ia terus saja mengoceh sepanjang perjalanan mereka kembali ke pondok.

"Lagipula, di sini dingin. Dan aku gak keringetan. Jadi, mustahil kalau aku bau! Aku bahkan bisa memilih untuk gak mandi selama ada di sini karena aku gak kegerahan sama sekali. Harusnya aku gak bau, dong!"

Maura hanya jadi pendengar saja. Ia hanya menjawab lewat anggukan kepala atau dehaman singkat untuk sekadar meyakinkan Devan kalau ia masih menyimak ocehannya. Semua ucapan Devan baru berhenti saat mereka sudah berada di depan pondok Maura.

Maura berdiri tepat di hadapan Devan sambil memilin jari-jarinya, merasa ragu-ragu.

"Ada apa?" tanya Devan seakan mengerti keraguan Maura. Sesaat, Maura menipiskan kedua bibir.

"Aku boleh ikut kamu?" tanyanya kemudian.

Dahi Devan menunjukkan kerutan-kerutan samar. "Kemana?" tanyanya kemudian yang membuat Maura berdecak kesal.

"Katanya kamu perlu beli baju! Aku mau ikut kamu belanja. Boleh?"

"Oh.. Itu. Aku mau ke pasar terdekat, bukan ke mall. Masih mau ikut?" tanya Devan lagi. Mendengarnya, Maura berasa diremehkan.

Ia menepuk kedua bahu Devan bergantian. "Inilah pentingnya mengenal perempuan yang kamu suka sebelum dipedekatein. Biar gak bikin sakit hati gini. Kamu kira aku perempuan apaan yang masuk pasar aja gabisa?"

Devan terdiam. Maura tak mengacuhkan diamnya Devan. Ia kembali menarik tangannya dari bahu Devan. "Pokoknya, kamu tunggu dulu di sini. Aku mau siap-siap sebentar."

Maura berbalik. Ia merogoh kunci pondok di sakunya yang langsung dicekal oleh Devan. "Kamu mau siap-siap apalagi? Kita bisa langsung pergi sekarang."

"Yakin? Dengan pakaian olahraga gini?" tanya Maura kemudian.

"Itu lebih baik. Kamu pakai jaket dan celana panjang, jadi kamu gak akan kedinginan selama di perjalanan. Lagian, emangnya kamu mau ke pasar pake gaun malam?"

"Gak segitunya juga... Tapi-" ucapan Maura terputus oleh perkataan Devan yang sedikit mengejutkannya. "You're perfect already."

Pada akhirnya, Maura mengalah. Ia mengekori Devan ke parkiran motor. Dan Devan melajukan motornya perlahan--takut Maura tak mampu menahan rasa dinginnya--ke arah pasar terdekat tanpa bantuan aplikasi peta online layaknya seorang warga lokal.

 Dan Devan melajukan motornya perlahan--takut Maura tak mampu menahan rasa dinginnya--ke arah pasar terdekat tanpa bantuan aplikasi peta online layaknya seorang warga lokal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang