Hari-hari berjalan sebagaimana mestinya. Dibanjiri pesanan, mendapatkan ribuan pesan masuk dari konsumen yang seakan tak ada habisnya, juga dipenuhi kesibukan lain hingga Maura lupa waktu. Yang berbeda hanya eksistensi Devan yang makin hari makin terlihat 'rajin'.
Dilihat-lihat, Devan tak lagi membolos kerja. Justru ia jadi pegawai paling rajin di tokonya. Devan terlihat bagai orang yang paling sibuk di toko mengalahkan pegawai-pegawainya yang lain. Ia juga selalu bekerja lembur. Seolah tak mencemaskan gajinya yang tak sepadan dengan jam lemburnya itu--tipikal Devan sekali.
Dengan gontai, Maura menyampirkan tas kerjanya di pundak dan berjalan mendekati pintu. Begitu Maura telah berada di dekat pintu, lampu di ruangannya dimatikan. Secepat kilat, ia meraih tangan Devan yang berdiri di sampingnya erat-erat. Devan tak mencoba menjauh, tapi tak mendekatkan diri juga. Ia bergeming. Setelahnya, mereka berdua berjalan keluar dalam diam seakan itu semua telah menjadi rutinitas sehari-hari yang memang benar adanya.
Devan yang selama berhari-hari ini kerja lembur dan menjadi pegawai yang pulang paling akhir itu selalu mendatangi Maura ke ruangannya seakan mengajak Maura untuk pulang bersama. Dan Maura nampak tak masalah dengan sikapnya Devan yang terlampau perhatian itu. Meski ia tak merasa nyaman, namun Maura menyadari kalau ia cukup penakut juga. Terutama sejak kejadian itu; saat Devan bilang kalau ada teman-tak-kasat-mata yang nampaknya akrab dengan Maura.
Keduanya berpisah di depan ruko. Maura pergi dengan mobilnya sedangkan Devan dengan motor ninjanya; seperti biasa. Sejak kali pertama Maura mengajak Devan pulang bersama tempo hari, Maura tak pernah lagi mencoba mengajak Devan lagi.
Dengan kecepatan rata-rata, Devan memacu kuda besinya ke salah satu kontrakan yang selama beberapa bulan ini jadi destinasi terakhirnya; tempatnya beristirahat. Letaknya tepat sekali di belakang ruko Maura.
Sesampainya di kontrakan, Devan disambut oleh ketiga rekannya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Rhea dan Jay dengan kamera pengintai, dan Bram dengan ... Entahlah. Devan tidak yakin. Itu seperti...
"Narkoba?" celetuknya tiba-tiba.
Ketiga rekannya mengangkat wajah dan nampak terkejut melihat kehadiran Devan. Devan tak menghiraukan itu semua. Pandangannya terfokus pada Bram yang tengah mengulik bungkusan kecil yang nampak mencurigakan itu.
Bram segera bangkit dari duduknya diikuti kedua temannya yang lain.
"Belum tau. Ini ... Tidak seperti narkoba yang biasanya," jawab Bram setelah beberapa saat terdiam.
Devan merampas bungkusan itu dari genggaman Bram dan mengamatinya lamat-lamat.
Benar. Tidak seperti narkoba. Yang satu ini bentuknya seperti kapsul obat berwarna hijau gelap. Benar-benar mirip seperti obat-obatan
"Barang baru?" tanya Devan lagi. Bram menganggukkan kepala.
"Barang itu baru datang dari Rusia tadi pagi. Perlu waktu satu bulan sampai obat itu ada di tangan. Terbatas, katanya. Saya beruntung dapat info bocorannya jauh-jauh hari."
"Ada lagi?" tanya Devan kemudian. Bram menggelengkan kepala. "Pembeliannya dibatasi. Tiap pembeli hanya dapat satu bungkusan kecil berisi 5 kapsul. Katanya efeknya lumayan dan ada yang bilang itu masih dalam tahap finishing. Sepertinya mereka belum berani mengeluarkan banyak-banyak karena masih belum ada efek yang jelas dari penggunaan obat itu."
Terlalu berisiko, pikir Devan.
"Oke. Kalo gitu, saya yang pegang obatnya. Terus awasi dan kabari saat ada hal-hal yang mencurigakan."
"Siap, 86!" seru Bram sambil memberikan hormat sekilas pada Devan.
"Mm ... Sebenernya..." Rhea membuka percakapan ragu-ragu. Devan melirik pada partner kerjanya dengan tatapan tajam, berharap Rhea segera menyelesaikan kalimatnya.
"Ada pergerakan yang aneh beberapa hari terakhir ini. Tapi ... Itu bukan dari target. Saya dan Jay sedang dalam penyelidikan untuk kasus ini," ungkap Rhea kemudian.
"Bisa diperjelas?" pinta Devan. Jay--partner-nya yang lain--langsung menanggapi pertanyaan Devan dengan sigap.
"Ada oknum yang mengamati kita dari jauh, Pak! Kami belum yakin itu pihak lawan atau kawan, tapi mengingat tugas ini diberikan hanya pada kita, jadi saya menyimpulkan--"
"Tidak penting!" potong Devan kemudian. Jay tersentak pelan. Begitu pula Rhea. Mereka berdua was-was. Pun dengan Bram yang diam-diam memperhatikan teman-temannya itu.
Mereka bukannya tidak mengenal Devan. Siapa yang tidak mengenal Kasat Resnarkoba muda yang kemampuannya diperhitungkan di kepolisian? Namanya sudah dikenal banyak petinggi kepolisian karena prestasi-prestasi cemerlangnya dan dinobatkan sebagai polisi muda paling berpengaruh di satuannya. Diam-diam, ketiganya mengidolakan sosk Devan dan ingin hidup seperti sang perwira muda itu. Tidak ada satu pun misi yang gagal diselesaikan oleh Devan. Dan itu menjadi salah satu alasan ketiganya bersedia mendampingi Devan dalam kasus kali ini.
Tapi mereka hanya mengenal Devan sampai situ saja. Mereka tidak mengenal Devan secara pribadi karena sebenarnya mereka semua anak baru. Ya, tim yang Devan pegang saat ini adalah tim yang baru dibentuk beberapa bulan lalu atas permintaan Devan sendiri. Entah atas pertimbangan apa sehingga mereka bisa lolos seleksi dan mendapatkan posisi terhormat sebagai partner kerja sang Kasat Resnarkoba yang satu ini.
Jadi, meski tak pernah terucap di antara ketiganya, mereka tidak ingin mengacaukan misi kali ini. Apalagi membuat atasannya kecewa. Dan kali ini, mereka takut mengecewakan sang komandan.
Melihat raut wajah waswas yang dipancarkan dari para bawahannya, Devan menghela napas berat. "Bukan begitu maksudnya..."
Ia memijat pangkal hidungnya pelan sambil menjelaskan secara singkat pada para bawahannya. "Tentang oknum itu... Saya sudah tau dari awal. Dan saya sudah menyelidiki mereka. Mereka tidak penting. Fokus saja pada misi kalian!"
Dijawab begitu membuat ketiganya diam-diam menghela napas lega. "Siap, Komandan!" seru ketiganya kompak. Mereka bubar teratur, kembali ke tempatnya masing-masing.
Disaat yang lain sibuk melanjutkan misinya, Devan mendudukkan diri di atas sofa sambil membuka ponselnya dan menghubungi kawan lama.
Gw ke sana besok
Ada barang baru
Tanpa menunggu pesannya terbalas, Devan menutup ponselnya dan kembali mengamati bungkusan kecil di tangan berisi kapsul-kapsul obat berwarna hijau pucat.
Dalam pikir panjangnya, ia mendesah berat. Sepertinya, ia akan bolos kerja lagi besok.
Halo...
Nggak. Aku belum bisa aktif nulis karena aku masih belum dapet jatah libur semesteran. Ujian akhir juga belum. Jadi, maaf yaa..
Tapi mengingat malam ini Christmas Eve, jadi ... anggap aja ini sebagai Chrismas gift?
Semoga kalian menikmati karyaku ini dan tolong beri aku support lewat vote dan komennya💖
Merry Christmas and happy new year!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover In War | ✔
ChickLit[ Seri ketiga dari Marriage In Rush ] 𝐜𝐡𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭 - 𝐫𝐨𝐦𝐚𝐧𝐜𝐞 - 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐚 𝐬𝐥𝐢𝐠𝐡𝐭𝐥𝐲 𝐚𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 *** Menjadi owner online shop produk kecantikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan mencari pasangan untuk diajak menikah juga hal yan...