LIW | 29

55 9 2
                                    

You say you'd rather be alone
'Cause you think you won't find it tied to someone else

***

Saat Devan membuka kedua mata, dilihatnya sinar mentari yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Pagi telah datang dan Devan tak lagi melihat Maura di ruangan. Mungkin saja, ia telah pergi kerja. Semua orang punya kesibukannya masing-masing, punya agendanya sendiri, kecuali Devan yang harus terus berada di atas kasur hingga kondisinya membaik; yang rasanya tidak dalam waktu-waktu dekat.

Setelah yakin Maura tak ada di ruangan, meninggalkan Devan sendiri, ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas dengan sedikit usaha dan menghubungi nomor panggilan yang telah ia hapal di luar kepala.

"Selamat pagi, Komandan!"

"Berikan laporan kamu," balas Devan tak membuang-buang waktu.

"Maaf, Komandan, tapi Komandan sedang dalam masa purna tugas ... sementara. Jadi, Komandan ditarik dari semua misi dan tidak berhak mendapat informasi apapun."

Devan menghela napas kasar. "Kamu jangan macam-macam, Bram! Surat pemberitahuan masa purna tugas saya masih belum keluar, saya masih anggota kepolisian juga."

"Tapi saya dengar Komandan saya amnesia. Bagaimana bisa saya yakin bahwa yang saat ini menghubungi saya adalah Komandan?"

Dan saat itulah kesabaran Devan habis. "Bram!"

"Siap!"

"Laporan," pinta Devan lagi dengan nada yang memaksa.

Terdengar Bram yang menghela napas berat dari seberang sana. "Saya dan Rhea gagal menangkap komplotan itu dan mengungsi di tempat Señor. Kami kekurangan orang yang dapat dipercaya karena disinyalir ada pengkhianat lain di kepolisian."

"Tempat Señor?" tanya Devan lagi memastikan karena setaunya tempat Señor sudah tidak aman lagi.

Bram membenarkan ucapan Devan. "Tempat persembunyiannya yang lain. Dan mi niño, Lanza, sudah kembali ke habitatnya. Dia menyusul kemarin, padahal tidak ada yang mengabari. Entah darimana dia tahu keberadaan kami."

Informasi tambahan dari Bram itu cukup berguna. Ia berharap Geri membawa jawaban dari kasusnya kali ini. "Tidak perlu mencurigai Geri. Dia dapat kita percaya. Berikan ponselnya pada Geri. Saya ingin bicara."

Setelahnya, terdengar teriakan Bram yang memanggil Geri dari balik ponselnya. Devan menantinya dengan sabar hingga sosok Maura yang tengah berdiri di depan pintu kamar mandi mengejutkannya.

"What's up, Bro?" sapa Geri di ujung sana.

"Shit!" Devan refleks mengumpat saat menyadari dirinya 'ketahuan'.

"Hey, what's wrong?" tanya Geri yang kehilangan arah. Devan tak menjawab. Ia memilih untuk segera mematikan sambungannya. Urusannya dengan Maura saat ini jauh lebih penting dari yang lainnya.

"Udah lama kamu di sana?" tanya Devan memastikan. Maura menggedikkan kedua bahunya takacuh sambil melangkah mendekati Devan. Dari balik baju rumah sakitnya, jantung Devan berdegup kencang sekali.

"Lamaaa sekali. Bahkan sebelum kamu memulai percakapan itu, aku udah ada di sana. Berdiri dibalik pintu, menguping pembicaraan."

"Jadi, amnesia kamu sudah pulih? Atau itu semua bohong?" lanjut Maura dengan sekali tembakan.

Devan membatu.

"Meskipun diam itu emas, tapi itu tidak membantu sama sekali, Devan. Diamnya kamu menunjukkan sifat tidak kooperatif yang akan memperberat hukuman. Sebagai anggota polisi kamu tahu itu bukan?"

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang