Maura berlari sekencang mungkin menuju lantai atas tokonya. Jantungnya berdegup kencang. Ia gelisah; takut ada hal-hal tak diinginkan yang terjadi.
Sehabis menerima panggilan telepon dari orang tak dikenal itu, Maura langsung memutar arah mobilnya kembali menuju toko.
Ia tahu Devan itu pria yang aneh, tapi jelas ia bukan orang jahat. Jadi, Maura menolak percaya saat seseorang tak dikenal menelponnya sambil bilang kalau Devan ditangkap polisi dan kini ia tengah berada di lantai atas tokonya lengkap bersama obat-obatan terlarang sebagai barang bukti.
Meski selama ini Devan selalu bertingkah menyebalkan dan mampu membuatnya naik darah, tapi Maura tak pernah membencinya. Jadi, ia tak mampu mengabaikan Devan yang saat ini tengah berada dalam kondisi 'kritis'.
Dengan hati yang dipenuhi penyangkalan-penyangkalan atas terlibatnya Devan dengan barang-barang haram itu, Maura terus melangkahkan kedua kakinya. Bergerak maju menaiki tangga dengan terburu-buru agar bisa sampai di lantai atas secepat yang ia bisa.
"DEVAN... DEVAN!" serunya memanggil-manggil. Namun sang pemilik nama tak ada di tempat. Maura mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan deru napas tak teratur; mencoba memastikan kembali.
"DEVAN!" panggilnya sekali lagi. Ia melangkahkan kaki, berjalan menyusuri lantai dua itu sambil mencari-cari sosok Devan yang menghilang.
Tak seperti yang disebutkan si penelpon misterius sebelumnya, kondisi di lantai dua itu kosong. Sepi. Tak ada Devan, tak ada obat-obatan dan anggota polisi pun tak terlihat. Seketika, Maura sadar dirinya telah dibodohi. Ia tertawa kering. Menertawai dirinya sendiri yang bertindak bodoh. Sejak kapan Devan menjadi sosok penting dalam hidupnya? Ia bahkan rela mengorbankan diri untuk memutar balik mobilnya hanya karena ingin melihat Devan dan kebenarannya.
Saat ia membalikkan badan, hendak kembali turun dan berjalan pulang--kali ini benar-benar pulang, ponselnya berdering; menampilkan nomor yang sama seperti yang terakhir kali ia lihat. Tanpa ragu, Maura mengangkat panggilan itu. Ia berniat mencerca si penipu sekalian memberinya sedikit pelajaran karena telah berani-beraninya membohongi dirinya. Namun, belum saja Maura mengucapkan sepatah kata pun, si penelpon telah mendahului.
"Kenapa pergi terburu-buru? Ayo, balik badan. Dan kamu akan melihat kesayanganmu yang satu ini."
Maura tak ingin lagi percaya pada si penipu itu, namun tubuhnya menghianati dirinya sendiri. Maura memutarkan badannya dan seketika ia tersentak. Ponselnya terjatuh dari genggaman dan menabrak lantai dengan suara berdebum yang cukup keras. Kedua mata Maura terbelalak. Kedua tangannya pun bergerak menutupi mulutnya yang telah terbuka lebar. Maura terguncang.
Dari tempatnya berdiri, ia mampu melihat Devan yang tengah meronta-ronta minta dilepaskan dari gedung kosong yang ada di seberang sana. Kondisinya jauh dari kata baik-baik saja. Itu terlihat mustahil bagi Maura. Mereka baru berpisah kurang dari satu hari, tapi sekujur tubuh Devan telah dipenuhi luka lebam dan juga ... darah. Kedua tangan Devan diikat ke belakang, tubuhnya dipegangi seseorang bertubuh besar yang nampak menyeramkan. Bukan apa-apa, tapi di matanya kini, pemandangan di hadapannya tampak tak masuk akal. Itu nampak seperti upaya pembunuhan dibanding penangkapan tersangka penyalahgunaan obat-obatan. Di sisinya yang lain, berdiri seorang lelaki yang tengah menggoyang-goyangkan ponsel di tangannya ke arah Maura.
Maura mengerti maksudnya. Ia menyadari satu-satunya cara berkomunikasi dengan mereka hanyalah melalui ponselnya. Jadi saat Maura menyadari ponselnya terjatuh, ia segera mengambilnya dan berharap ponselnya baik-baik saja. Untungnya, itu sesuai dengan harapan Maura.
"Apa yang kalian lakukan? Kalian bukan polisi, 'kan?" cecar Maura kemudian.
"Siapa? Saya? Saya polisi! Tanya Devan tersayangmu ini. Kita ada di tim yang sama. Benar kan, Pak Komandan?"
Terdengar dengusan kasar dari Devan di seberang sana. Maura mencoba mencerna situasinya baik-baik. Pria aneh dan juga pembohong yang menyebut dirinya polisi yang menunjuk Devan sebagai ketua timnya ... Skenario aneh apa ini?
"Ck! Kamu masih saja tidak mau mengaku pada wanitamu itu walau sudah berada di situasi hidup dan mati seperti ini. Ya sudah, lah. Aku sudah berbaik hati memanggil kesayanganmu itu disaat-saat terakhirmu. Ada yang mau kamu sampaikan sebagai kata-kata perpisahan?"
Devan tak menjawab sepatah kata pun. Ia terus meronta sekuat tenaga yang tak membantu banyak. Melihat Devan yang terus bergeming, orang itu mendecakkan lidah; kesal. "Aku gak mau buang-buang waktu lebih lama lagi, Devan. Mari kita akhiri ini dengan cepat."
Maura merasakan hawa-hawa tak mengenakkan. Ia mencoba menghentikan mereka dari tindakan yang masih belum ia ketahui. Namun, Maura terlambat.
Tubuhnya bergetar, air matanya mengucur deras saat melihat Devan dijatuhkan dari lantai 2 ruko di depannya. Belum habis sampai di sana, mereka juga menembak Devan dari arah belakang seolah memastikan Devan benar-benar mati saat itu juga. Saat itulah, pertahanan Maura yang telah menipis sejak awal, runtuh tak bersisa.
"DEVAANNN!!!"
Apa ini miskahh? Baru juga mulai udah dikasih adegan pembunuhan gini??
Sama seperti series yang lainnya, series yang ini juga ditulis saat aku belum riset sepenuhnya. Karena sejak awal aku gak nganggep project ini serius; yang harus banyak-banyak riset begituu. Dengan kata lain, series ini ditulis untuk mengisi kegabutan aja:v
Ayok, aku tunggu opini kalian (juga tebak-tebakan kalian) untuk cerita ini. Komen disini yukk...
Satu hal yang pasti; cerita ini akan berbeda dari cerita-cerita sebelumnya. Tantangan aku untuk bisa membawakan cerita ini dengan baik juga semakin terasa berat.
Jadi ... Sudah siap dikejutkan oleh kisah Maura-Devan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover In War | ✔
Chick-Lit[ Seri ketiga dari Marriage In Rush ] 𝐜𝐡𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭 - 𝐫𝐨𝐦𝐚𝐧𝐜𝐞 - 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐚 𝐬𝐥𝐢𝐠𝐡𝐭𝐥𝐲 𝐚𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 *** Menjadi owner online shop produk kecantikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan mencari pasangan untuk diajak menikah juga hal yan...