Devan menutup pintu kantor Maura dengan senyuman puas karena berhasil menjahili sang bos. Namun senyum itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, ponselnya berdenting menandakan pesan masuk. Dengan sigap, ia membuka pesan singkat yang ternyata dari salah satu bawahannya itu.
Mereka bergerak.
Meski hanya satu kalimat, tapi Devan mampu menangkap isi pesan itu. Dan jujur saja, informasi dari bawahannya itu sedikit tak berguna karena ia sudah tahu tentang pergerakan mereka. Devan sendiri yang ikut mengamati gerak-gerik mereka dari balik jendela kantor Maura.
Pada akhirnya, ia memilih untuk tak menjawab pesan itu. Lagipula bawahannya tahu pasti apa yang harus mereka lakukan. Bisa dibilang, saat ini Devan tengah mempercayakan bawahannya itu sepenuhnya.
Pesan itu segera Devan hapus. Layaknya tak terjadi apapun, Devan melangkahkan kedua kaki untuk menuju ke kubikel miliknya. Hari ini, Devan terpaksa harus menghabiskan hari dengan terus memperbaharui media sosial kantornya.
***
Dengan susah payah, Maura dapat melewatkan harinya dengan cukup baik. Ia sengaja menjatuhkan seluruh fokusnya pada pekerjaan hingga tak sadar bahwa matahari telah terbenam sejak beberapa waktu yang lalu dan ruangannya pun kini menggelap.
Dalam keadaan gelap itu, Maura merasakan suasana yang cukup mencekam. Seketika, bulu kuduknya berdiri. Ia kembali teringat pada ucapan bodoh dari bawahannya tadi pagi perihal teman tak kasat matanya itu.
Maura bergidik pelan. Ia mencoba mengenyahkan pikiran negatifnya itu dan berniat untuk menyalakan lampu.
Namun, Maura segera jatuh terduduk kembali di atas kursinya dengan jantung yang berdegup kencang kala menyadari lampu di ruangannya menyala tiba-tiba.
"Ya Tuhan!" serunya kencang disertai rasa terkejutnya.
Maura sudah akan berpikiran yang macam-macam saat ia melihat Devan berdiri di dekat stop kontak dengan tatapan tak berdosa.
Menyadari bahwa Devanlah yang menyalakan lampu ruangannya membuat Maura menghela napas lega. Devan yang melihat tingkah laku aneh bosnya itu melemparkan tatapan bingung yang dihiraukan oleh Maura.
Dengan gerakan cepat, Maura membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja. Beberapa ia letakkan di dalam tasnya sisanya ia simpan baik-baik di laci meja.
Devan tak bicara apa-apa. Ia hanya menatap Maura dalam diam. Seolah tengah menunggu bosnya itu selesai berbenah.
Tepat setelah Maura memasukkan barang terakhirnya ke dalam tas, Devan mengeluarkan suara. "Beres?"
Pertanyaan Devan itu hanya dijawab denga sebuah anggukan dari Maura. Ia melangkah mendekat ke arah Devan. Devan menunggu Maura untuk sampai di dekatnya dengan sabar.
"Belum pulang?" tanya Maura kemudian saat telah berada di dekat Devan. Tanpa aba-aba, Devan kembali mematikan lampu. Maura yang terkejut dan nampak belum siap segera mengalungkan lengannya pada milik Devan dengan wajah takut-takut.
Jarak mereka yang terlampau dekat membuat Devan dapat melihat ekspresi Maura yang ketakutan itu dengan sangat jelas. Dalam hati, ia terkikik pelan.
"Takut?" tanya Devan jahil. Maura mengelak denga sekuat tenaga tanpa melepaskan rangkulannya pada Devan. "Nggak! Siapa yang takut? Kenapa mesti takut? Emang ada apa?"
Devan mencibir pelan namun ia tak melanjutkan percakapan itu. Ia merasa tak tega melihat keadaan Maura yang ketakutan setengah mati begitu.
Dengan gerakan perlahan, ia membawa Maura keluar dari kantor. Tangga ruko yang hanya muat satu orang dan suasana toko yang gelap gulita membuat mereka kesulitan. Tidak. Lebih tepatnya, Devan yang kesulitan.
Ia tak bisa lepas dari rangkulan Maura yang kian mengerat, tapi mereka juga tak dapat turun bersamaan. Jadi, Devan menyuruh Maura untuk turun lebih dulu sedangkan ia berada tepat di belakang punggung Maura sembari menyalakan senter dari ponselnya sebagai penunjuk jalan dan satu-satunya sumber cahaya yang mereka miliki agar Maura setidaknya merasa sedikit aman.
Setelah beberapa saat bergelut dalam kegelapan, mereka akhirnya dapat keluar dari ruko. Maura menghela napas lega namun masih tak menyadari rangkulannya pada Devan.
Devan sampai harus menggoyang-goyangkan lengannya untuk menyadarkan Maura.
Maura terkesiap. Dengan sigap, ia melepaskan rangkulannya pada Devan. "Sorry," ucapnya dengan nada menyesal. Devan tak mempermasalahkan itu. Ia nampak acuh tak acuh pada ungkapan penyesalan Maura itu. Lagipula baginya, tidak ada yang salah dari sebuah rangkulan.
Suasana tiba-tiba saja berubah menjadi canggung. Sambil mengusap bagian belakang tengkuknya, Maura berucap, "mau pulang bareng?"
Devan terkekeh pelan. "Gak perlu. Aku bawa motor," jawabnya singkat yang membuat Maura merasa konyol.
"Kalo gitu ... see you tomorrow?"
Devan menganggukkan kepala sekali. "See you," balasnya pada Maura.
Maura berjalan menjauh menuju mobilnya yang terparkir di depan toko. "Ah!" serunya tiba-tiba sambil membalikkan badan. "I appreciate you karena udah bertahan satu hari ini. Maksudnya, kamu gak menghilang tiba-tiba seperti biasanya. Aku harap kamu bisa seterusnya seperti itu."
"Termasuk bagian lemburnya?" tanya Devan menggoda. Maura membalasnya dengan tawa singkat.
Devan melihat Maura yang memasuki mobil dari kejauhan. Ia memberikan lambaian singkat saat mobil itu bergerak mundur dan melaju pelan menjauhi kawasan ruko.
Untuk sesaat, ia menghela napas berat. Sebelum ia meninggalkan tempat itu, Devan melirik sekilas ke ruko yang berada di seberangnya. Ruko berukuran sama seperti milik Maura yang tak pernah buka itu nampak sepi. Dalam hati ia bergumam, "Misi ini tak akan berjalan dengan mudah."
Part ini dipublish untuk mengisi kekosongan kalian di minggu ini karena habis ini aku belum bisa up lagi. Alasannya udah aku share kemarin malam di message board. Kalau berkenan, kalian bisa cek aja disana.
Selamat hari senin!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover In War | ✔
ChickLit[ Seri ketiga dari Marriage In Rush ] 𝐜𝐡𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭 - 𝐫𝐨𝐦𝐚𝐧𝐜𝐞 - 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐚 𝐬𝐥𝐢𝐠𝐡𝐭𝐥𝐲 𝐚𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 *** Menjadi owner online shop produk kecantikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan mencari pasangan untuk diajak menikah juga hal yan...