LIW | 25

84 12 5
                                    

Maura terguncang saat melihat Devan jatuh begitu saja dari ketinggian lebih dari satu meter. Ia memberanikan diri melongok keluar lewat jendela di hadapannya. Dilihatnya Devan jatuh menindih kap mobil. Dan entah bagaimana awalnya, orang-orang berseragam polisi muncul dari segala arah. Singkatnya, ruko yang ada di seberangnya itu dikepung.

Terlihat orang-orang berkaus hitam dengan tulisan dokter di punggungnya bergerak cepat mendekati Devan untuk memberikannya pertolongan pertama. Tanpa menghabiskan banyak waktu, Maura segera berlari turun dari rukonya menuju tempat Devan terkapar.

Hanya ada dua kemungkinan; hidup atau mati. Namun Maura tak berhenti beroptimis mengenai kemungkinan yang pertama.

Dengan terisak, Maura berlari kecil sembari mengusap kedua matanya yang memburam terhalang oleh air mata. Dihampirinya Devan yang terlihat mengenaskan itu. Beberapa anggota polisi lainnya mencoba menghalangi Maura; berniat menjauhkannya dari Devan yang tengah dalam penanganan.

Dibawanya Devan ke dalam mobil ambulans dan seketika Maura melangkah maju menerobos orang-orang dihadapannya dan ikut masuk ke dalam mobil ambulans itu.

Tak ada yang berani mengusir Maura dari dalam sana. Terutama saat melihat keadaan Maura yang terlihat kacau. Maura berusaha tak menghalangi tim medis melakukan tugasnya sambil menatap Devan lekat-lekat. Berharap Devan membuka kedua matanya.

Maura tak tahu apa-apa soal medis biarpun ia pernah mengampu jenjang itu. Namun satu hal yang Maura sadari, keadaan Devan sudah lebih baik dari sebelumnya. Itu terbukti dari raut wajah tenaga medis yang sudah lebih lega dari sebelumnya.

Tak lama kemudian, mobil ambulans yang mereka tumpangi berhenti. Para tenaga medis membantu menurunkan Devan yang terbaring tak sadarkan diri di ambulance stretcher-nya dari atas mobil dan bergerak cepat menuju ruang tindakan. Maura mengikuti mereka dan langkah kakinya terpaksa berhenti saat Devan telah memasuki ruangan.

Linglung, Maura mendudukkan dirinya di atas kursi panjang yang sengaja diletakkan di depan ruang tindakan. Hingga ia kemudian merasakan kehadiran seseorang di sampingnya.

Masih dengan kepala yang tertunduk dalam, Maura mendapati seseorang itu mengulurkan sebuah saputangan ke arahnya. Dari situ, Maura mendongakkan kepala. Dilihatnya seorang wanita paruh baya yang dilihat dari penampilannya merupakan nyonya kaya raya tengah memandang lurus ke depan; masih dengan sebelah tangan yan terulur ke arah Maura.

Tak kunjung disambut, sang nyonya menggoyang-goyangkan saputangannya memberikan Maura tanda agar segera disambut. Maura tersadar dan segera menyambut uluran saputangan itu. "Terima kasih," cicitnya kemudian yang hanya dibalas oleh gumaman setengah hati.

Maura mengabaikan itu dan mulai mengelap kedua matanya yang berembun dengan saputangan berwarna biru langit itu. "Kalau boleh tau, Anda ... siapa?" tanya Maura kemudian yang tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Saya mamanya Devan, Reyna," jawab sang nyonya memperkenalkan diri. Seketika, jantung Maura rasanya melompat keluar. Ia merasa bertanggungjawab atas kejadian yang menimpa putranya. "Maafkan saya, Bu. Saya..."

"Kamu gak perlu minta maaf. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini udah jadi resiko pekerjaannya anak saya," potongnya kemudian. Disinggung begitu, seketika Maura tersadar. "Jadi, Devan betulan..."

"Polisi?" sambar Reyna begitu saja. Maura tercekat saat melihat anggukan mantap dari Reyna.

"Kalau ada yang harus disalahkan, itu saya. Andai saya gak melepas Devan jadi polisi begitu saja. Andai saya menyuruh Putra—ajudannya—untuk tidak mengawasi Devan terlalu jauh, ia pasti dapat bergerak lebih cepat dari ini.

"Jadi, sebagai gantinya, kini saya harus bergerak lebih cepat untuk membungkam banyak orang hingga kabar buruk yang dialami Devan hari ini tak terdengar oleh orang luar. Demi menjaga nama baik."

Lover In War | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang