Sakit. Itu yang kurasakan
Kepalaku serasa mau pecah dan aku berkonsentrasi mengatasi serangan rasa sakit yang menghantamku. Bus kami mulai terbalik-balik lagi dan kemudian meluncur mundur.
Isak tangis berubah menjadi jeritan.
Jeritan berubah menjadi nyanyian.
Chelsea masih hidup, Brian masih menggoda Susan. Sepotong demi sepotong adegan terulang kembali seperti dulu. Sambil menahan sakit, otakku berputar mencari cara menghentikan bus ini agar tidak terjerumus ke skenario yang sama.
Val
Ia menatapku, menatap ke sekelilingnya. Ia tampak berbeda, ketakutan, kebingungan.
Apakah sesaat sebelum kecelekaan, Val memang bertingkah seperti itu?
Aku menoleh ke luar jendela dan melihat retakan kaca menghilang bagai sulap. Kemudia aku melihat truk besar. Truk sialan pembawa celaka itu. Bus kami bergerak mundur seirama dengan kendaraan lainnya
Aku tidak tahan lagi. Jeritanku tersangkut di tenggorokan, rasa sakit luar biasa ini mencengkeram punggung leherku dan sudah saatnya aku menyelesaikan "pemunduran waktu" yang gila ini.
Aku ingin menjerit, membuka mulutku,
Jeritan
Bukan dariku, tapi Chelsea. Ia menganga menatapku. Pucat pasi
Val menatapku dan menegang. Wajah ketakutan dimana-mana. Apa yang terjadi? Aku menoleh ke arah Amy dan ia menunjuk wajahku dengan ketakutan
"Rae.."
Aku menunduk. Dan seperti baru saja ditumpahi cat merah, tanganku - seluruh tubuhku- berwarna merah.
Lebih tepatnya, bersimbah darah merah
***
Aku membuka mataku, mengerjap-ngerjap dan berusaha menyesuaikan korneaku dengan silaunya lampu. Aku mengerang kecil sambil mencoba mencerna dimana aku sekarang. Sebuah ruangan putih bersih, berbau antiseptik yang menyengat. Aku yakin aku berada di rumah sakit.
Kenapa?
Hal terakhir yang kuingat adalah sosok diriku yang berdarah-darah yang menimbulkan kepanikan akut di dalam bus. Val berdiri menyuruh sopir bus berhenti di pinggiran jalan, tepat ketika truk itu melaju, melewati kami. Dalam sekejap, cerita kami berubah. Amy mencoba menghentikan pendarahanku sambil menekan-nekan kaus cokelatnya pada lenganku (dimana aku harus mengganti rugi kaus itu nanti) dan Chelsea sibuk menekan tombol-tombol di handphonenya, frustrasi, memanggil ambulans.
Val tidak mendekatiku. Ia menatapku dari kejauhan. Tampak sangsi.
Padahal sebelumnya kami begitu dekat. Amat dekat.
Kenapa?
Kesadaranku kembali ke rumah sakit saat aku merasa mual dan pusing. Efek dari kekurangan darah dalam jumlah besar. Untunglah aku tidak mati. Kurasa takdir akan kerepotan memundurkan waktu untuk kejadian yang satu ini.
Pintu terbuka, Mom masuk dan terkejut melihatku. Ia mengulaskan senyum dan menghampiriku
"Hai, selamat datang kembali. Bagaimana perasaanmu?"
Wow, berbeda dari yang kukira. Aku sudah memikirkan bahwa ia akan menceramahiku dan menambahkan 'Sudah kubilang' di setiap kalimatnya.
"Pusing, tapi selebihnya normal. Aku sudah menekan tombol pemanggil suster" jawabku sambil melirik tombol yang menyala yang kutekan 5 detik sebelum Mom memasuki kamarku
"Kalau begitu, kau punya 10 menit untuk menjelaskan." Mom menyilangkan tangan di dadanya "Selengkap-lengkapnya"
Aku mendesah dan menceritakan rentetan kejadian mengerikan yang kualami. Chel yang kehilangan, Amy yang terluka, bus yang terbalik, namun adegan terakhir -yang penuh emosi dan menurutku romantis itu- bersama Val kuhilangkan. Aku tidak ingin Mom mengetahuinya. Setidaknya belum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reversed Time
FantasiKetika kematian tidak bisa menghampirimu... Rae seorang gadis biasa saja. Tapi ada 1 yang membuatnya istimewa. Ia tidak bisa mati. Bukan abadi, hanya berumur panjang. Keadaannya itu membuatnya frustrasi, paranoid, dan berbeda. Sampai ia bertemu Val...