Handphone itu masih berdering-dering dan aku meremasnya dengan sangat erat. Napasku tersengal-sengal, efek dari pemunduran waktu yang singkat namun yah, menyebalkan. Aku masih berdiri kaku di tempatku semula, di depan pintu kamar Val sesaat sebelum aku melangkah keluar untuk mencarinya.
Derap tangga terdengar dan Val langsung lari menghampiriku. Tanpa basa basi ia langsung meringkus diriku ke dalam pelukannya. Aku merasakan betapa erat ia memegangku dan seluruh tubuhnya gemetar. Aku bisa merasakan jantungnya yang berdebar kencang. Ia benar-benar takut. Ia tidak setakut ini saat kejadian di bus, atau ledakan mobil Chelsea. Ia amat sangat takut sekarang. Aku mengelus punggungnya
"Aku baik-baik saja" gumamku. Ia tidak bereaksi. Masih memelukku
"Val.." Aku menarik diri dan menatap tepat di matanya "aku tidak apa-apa"
Ia menarik lenganku, mengangkat lengan kausku, semuanya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba saja ia memutar badanku dan mengangkat rambutku, yang selama ini selalu kubiarkan tergerai. Gerakannnya terhenti. Ia merampas handphonenya yang sudah tidak berbunyi lagi dan aku mendengar suara jepretan yang tidak asing. Begitu ia mengulurkannya padaku, aku menatap layar dan melihat hal yang menakutkan.
Memar.
Tidak besar, berwarna biru gelap hampir hitam. Aku mengingat-ingat apabila aku pernah dipukul seseorang di sekolah. Tidak. Saat pelajaran olahraga? Yang kulakukan hanyalah ikut pemanasan ringan lalu bersembunyi di ruang ganti sampai jam pelajaran selesai. Jadi, memar itu hanya berarti satu hal.
"Luka yang tak sembuh total" Val berkata dengan nada marah. Ia mondar mandir di kamarnya sambil menggumam sesuatu. Aku berpikir keras. Aku memang terjatuh dan sepertinya punggung leherku mendarat di ujung tangga yang cukup runcing. Penyebab kematianku. Dan sekarang, bekas lukanya tidak sembuh total. Bukankah ini terlalu cepat?
"Val..aku baik-baik saja. Sungguh" tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan. Val mencengkeram tanganku dan menarikku keluar. Di pinggiran tangga, tanpa ragu ia menggendongku dan melangkah turun. Aku tidak diizinkan untuk memprotes. Kami menghampiri motornya yang di parkir dan ia langsung mengantarku pulang.
Walaupun emosinya masih tidak stabil, ia masih mampu mengontrol laju kendaraan. Aku menyandarkan kepalaku ke punggungnya. Aku juga sekarang khawatir.
***
Kami tiba di halte bus yang tampaknya selalu sepi itu. Ia langsung memarkir motornya dan menyeretku di jalan setapak.
"Aku tidak bisa mengantarmu dengan motor sampai di depan rumah, tapi aku harus mengantarmu sampai di rumah" ia bersikeras. Aku menyentakkan tanganku. Ia berbalik, berhenti. Kami berhadap-hadapan lagi.
"Aku tidak apa-apa Vaclav" aku menegaskan
"Kau mati Rae!! Kau mati..di tangga rumahku, di depan mataku!!"
"Dulu juga begitu. Dan aku akan selalu hidup!!"
"Bagaimana dengan memar itu? Apa artinya itu?!" Bentak Val. Aku terdiam. Ia punya alasan untuk khawatir dan aku tidak membantahnya.
"Aku tidak tahu apa artinya.." Aku menghela napas "tapi sekarang aku baik-baik saja. Pulanglah Val"
Ia menghampiriku, mengecup puncak kepalaku, berkali-kali. Ia menunduk berbisik di telingaku dan kemudian melangkah pergi. Aku terus melihat ke arahnya sampai sosoknya menghilang di belokan jalan. Lalu airmata menetes di pipiku.
Aku mencintaimu
***
Keesokan harinya Val tidak masuk sekolah. SMS ku tidak di balas dan teleponku hanya berakhir di voicemail.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reversed Time
FantasyKetika kematian tidak bisa menghampirimu... Rae seorang gadis biasa saja. Tapi ada 1 yang membuatnya istimewa. Ia tidak bisa mati. Bukan abadi, hanya berumur panjang. Keadaannya itu membuatnya frustrasi, paranoid, dan berbeda. Sampai ia bertemu Val...