Enam Belas

1.8K 157 2
                                    

Aku terbangun karena udara dingin menyapu jari-jari di kakiku. Sambil menggigil aku mengambil posisi duduk dan mengingat-ingat dimana aku sekarang. Aku mengerjapkan mataku dan menyadari aku berada di tengah samudera berwarna hijau dan sekelilingku berwarna biru seperti waktu subuh.

Jam berapa sekarang?

Aku menoleh ke samping dan mendapati Val yang masih tidur. Wajahnya mengerut sesekali lalu kembali normal. Entah apa yang dimimpikannya. Aku meraih iPhonenya dan melihat angka yang tertera di layarnya. Pukul setengah lima pagi. Rupanya aku ketiduran saat Val menyanyi. Kemudian aku tersentak. Meraba-raba diriku memastikan tidak terjadi apa-apa semalam. Aku kembali menatap Val, mencari tanda-tanda yang tidak wajar.

Tidak ada apa-apa. Aku mendesah lega.

Aku kembali bergelung di samping Val dan menatap langit yang pucat. Membayangkan hidupku seperti ini tiap hatinya tentulah amat menyenangkan, terbangun di sisi orang yang kita cintai setiap pagi. Aku menyadari aku menggunakan istilah cinta untuk Val. Apakah aku mencintainya seperti itu?

***

Tubuhku diguncang-guncang hebat sehingga aku langsung terbangun. Val terkekeh sambil merapikan rambutku

"Bangunlah pemalas! Masih ada satu hal lagi yang harus kutunjukkan"

Rupanya aku tertidur lagi tadi. Aku meluruskan tubuhku dan menguap lebar-lebar kemudian menatap Val tersinggung

"Asal kau tahu saja, aku sudah bangun dari jam setengah lima"

"Kenapa kau tidak membangunkanku?"

"Kau tidur seperti bayi"

Ia mencubit pipiku.

Kemudian aku duduk menghadap hamparan dandelion sambil memandang pegunungan yang masih berkabut.

"Lihat" bisik Val

Dan aku melihatnya. Berawal dari setitik cahaya di antara pegunungan dan makin lama makin membesar, melapisi dataran dengan warnanya yang cerah. Sang surya kembali. Matahari terbit.

"Ini. Adalah. Pemandang. Paling. Menakjubkan. Yang. Pernah. Kulihat" aku terhipnotis dengan cahaya yang memancar masuk ke dalam bola mataku. Val menyentuh pundakku sehingga aku terkesiap

"Ayo pulang"

Dengan berat hati aku menyetujuinya. Ia menurunkanku di rumah Amy, karena bagaimanapun, orang tua Amy harus mendapatiku di rumah mereka. Sesampainya di rumah Amy, ia sudah menyediakan sarapan. Val meminta diri dengan sopan dan segera pulang. Amy tidak mau repot-repot bertanya. Ia hanya membahas tentang beasiswa yang didapatnya dan hal-hal semacamnya. Aku lega bersamaan dengan kesal. Aku bisa menyimpan kenangan indah itu sendiri namun sahabat macam apa yang tidak ingin tahu kencan pertama sahabatnya

***

Hari-hari berikutnya berjalan dengan normal. Aku dan Val sering menghabiskan waktu istirahat bersama-sama karena kami tidak ada kelas yang sama. Kadang-kadang aku mendapat lemparan tatapan iri dan kesal dari beberapa gadis yang mengidolakan Val, namun aku tidak peduli. Val selalu ada untukku, tiap bersamanya, ia selalu berhasil menghalau pikiran negatif dari otakku. Dan aku mengurangi sifat paranoidku, membuatku merasa lebih baik. Tapi sebaliknya, Amy menghilang.

Kami bertemu sesekali di waktu pergantian pelajaran atau istirahat dan ia hanya menyapaku sekilas seperti orang asing. Aku mengutarakan perasaanku saat aku berhasil mendapat kesempatan bicara dengannya di kelas aljabar.

"Aku merindukanmu" bisikku saat Mrs. Sheeran sibuk dengan soal di papan tulis. Amy tidak menjawab

"Amy, apa aku melakukan kesalahan? Aku minta maaf. Mau makan bersama siang ini" aku masih belum menyerah.

"Kemana pacarmu?" Ia balas berbisik, namun nadanya terdengar menusuk

"Kita sudah membahas masalah ini bukan? Kau sahabatku Amy, aku tidak akan menggantimu dengan Val. Tidak akan pernah"

"Kau terlihat jauh lebih baik bersamanya"

"Aku membutuhkanmu. Aku tidak mau bertengkar denganmu oke?" Aku masih berbisik.

"Aku juga dan kau seharusnya berpikir seperti itu sebelum menerima dia"

"Ada apa kau dengan Val?" Aku masih meredam emosiku

"Ada apa kau dengannya?" Balas Amy

"Ms. Sullivan, Ms. Chang, apa kalian masih tertarik mendengar kelasku atau tidak? Kalau tidak, masih banyak tempat di luar disana untuk diskusi kalian" Mrs. Sheeran memotong pembicaraan kami dan ia terdengar kesal.

"Tidak Mrs. Sheeran. Maafkan aku" aku dan Amy berkata serempak. Mrs. Sheeran memandang kami dari balik kacamatanya dan membalikkan badan kembali menghadap papan tulis

"Sebaiknya begitu nona-nona. Aku tidak suka pembuat keributan"

Dan selama sisa pelajaran, Amy tidak menoleh sekalipun padaku.

***

Val memanggilku ke rumahnya. Aku amat kaget mendengar ajakannya. Sebelum pikiranku berubah aneh-aneh, ia menyatakan alasan yang sebenarnya. Kakak perempuannya lupa membawa kunci rumah dan harus pulang sebentar karena itu Val harus membukakan pintu untuknya. Dan ia mengajakku mampir sebelum diantar pulang. Aku bisa saja pulang jalan kaki, tapi sejak kejadian dengan preman-preman itu aku tidak mau lagi. Pulang dengan Amy, ia masih merajuk (entah apa alasannya). Aku tidak punya pilihan.

Rumah Val besar, berwarna putih, dihiasi dengan bunga-bunga yang tidak terawat namun entah kenapa tumbuh subur. Halamannya seperti kebanyakan rumah sub-urban. Luas namun tidak makan tempat. Bagian dalam rumahya ternyata tidak sebesar kelihatannya. Begitu masuk, kami dihadapkan tiga pilihan. Ke kiri adalah ruang tamu, ke kanan adalah dapur, dan lurus adalah tangga menuju kamar di atas.

Val mengajakku ke kamarnya untuk melihat-lihat sebentar. Aku agak ragu awalnya, namun inilah yang selalu kuharapkan. Melihat kamar orang yang kusukai. Apakah ia orang yang rapi atau berantakan seperti kebanyakan cowok-cowok lainnya. Ternyata ia orang yang rapi. Baju-bajunya terlipat dengan baik di lemarinya dan tempat tidurnya juga di tata dengan baik. Sebuah bantal dan selimut. Kamarnya juga dicat seadanya dengan warna abu-abu ringan, sesuai matanya.

Aku baru saja menghampiri ranjangnya, kemudian ia terlonjak, berdiri dan tersenyum

"Itu kakakku. Kau tunggu saja disini" katanya. Dan aku belum sempat bicara, ia sudah melesat kebawah.

Rasanya terlalu terburu-buru. Aku menelusuri tiap inchi kamarnya, berharap mendapat foto-foto masa kecil yang memalukan. Tapi nihil. Ketika aku menyerah, aku menemukan selembar foto. Seorang bocah, memakai topi warna merah dan tersenyum cerah ke arah kamera. Sekilas ia tampak seperti Val kecil, tapi setelah diperhatikan lebih lama, ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Ia mempunyai lesung pipi, Val tidak. Dan aku langsung tersadar. Ini Vinny.

Aku membalikkan fotonya dan melihat sebuah tulisan yang tercetak rapi

Adik tercinta,

Vincent Sewell

26-01-1999 s/d 20-12-2001

Aku memandang lekat-lekat tanggal yang tertera disitu. Rasanya tanggal itu tidak asing bagiku. Tiba-tiba sebuah nada dering mengagetkanku. iPhone Val berbunyi. Aku mengembalikan foto itu ke tempat semula dan mengambil telepon genggamnya. Aku menuju ke tangga, memastikan kakaknya sudah pergi lalu memanggil Val.

Tidak ada jawaban.

Aku mengambil langkah turun, lalu terpeleset. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk tiba di lantai dasar, setelah berguling-guling dari tangga. Val terburu-buru menghampiriku dan wajahnya pucat pasi.

"Rae!!" Ia berteriak, mengangkatku ke pelukannya.

Jatuh dari tangga itu sakit. Dan rasanya ada yang patah. Tapi aku tidak khawatir. Karena semuanya akan kembali seperti semula. Val masih berteriak panik di sebelahku, handphonenya masih berdering-dering, dan aku hanya memejamkan mataku.

Dan jantungku berhenti berdetak.

Reversed TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang