Sebelas

2.1K 195 6
                                    

Gaun berlengan panjang polos itu tergantung rapi di pintu lemariku. Aku menatapnya dan mengulurkan jari-jariku untuk mengelus bahannya yang lembut itu. Aku mendesah, menjatuhkan handuk yang melilit tubuhku dan mengambil gaun itu, menyelipkannya melalui leherku dan dalam sekejap gaun itu sudah membalut tubuhku dengan sempurna.

Aku memandang cermin, mendapati seorang gadis yang ramping-lebih tepatnya lagi kurus- dengan rambut cokelatnya yang basah dan awut-awutan yang sudah mulai memanjang. Kedua mata gadis itu sembap dilengkapi lingkaran hitam menatap balik ke arahku.

"Menyedihkan" gumamku. Entah kepada siapa.

Warna gaun yang jatuh tepat di atas lututku itu berwarna hitam. Warna yang suram. Warna yang melambangkan kesedihan. Warna kematian.

Hari ini hari pemakaman Chelsea.

Walaupun kematian Chel bisa disebut naas, tetapi orangtuanya tetap ingin mengadakan upacara pemakaman yang layak. Tentu saja, apalagi yang bisa diperbuat untuknya sekarang selain acara perpisahan pada umumnya. Memikirkannya saja sudah membuat mataku buram.

Sebuah ketukan di pintu kamarku mengembalikan khayalanku.

"Rae? Amy sudah ada disini. Apakah kau sudah siap? Atau kau ingin dia menunggu?" Itu suara Mom.

"Hampir siap Mom. Suruh saja ia kesini.." Aku menggantung ucapanku. Ingin mengatakan sesuatu tapi tidak tahu apa.

Pintu terbuka dan Amy menyembul masuk ke dalam kamarku. Ia mengenakan rok hitam dan atasan putih dilengkapi dengan blazer hitam yang serasi. Sekilas ia tampak seperti pegawai kantoran.

"Kau tampak cantik" katanya. Walaupun ia mengenakan riasan, aku masih bisa melihat matanya yang bengkak dengan jelas.

"Kamu juga" balasku, tersenyum.

Ia duduk di sisi tempat tidurku dan kami tenggelam ke dalam pikiran masing-masing. Aku memikirkan hari itu. Saat unit keadaan darurat tiba di lokasi kejadian, aku tidak bisa melakukan apapun dengan baik. Saat polisi datang dan menginterogasiku, satu-satunya suara yang kuhasilkan adalah suara tarikan lendir di hidungku. Aku mencoba bicara dan hanya bisa tersendat-sendat. Val lebih tenang menghadapi situasi ini. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia memberikan semua informasi yang dibutuhkan pihak berwajib dan menjelaskan bahwa posisi kami hanyalah sebagai saksi mata. Ia bahkan membawaku ke mobil ambulans untuk diperiksa apakah aku terluka atau semacamnya. Dan selama itu, ia tidak melepaskan genggaman tangannya.

Kecuali saat semua sudah selesai. Aku dipastikan tidak cedera dan diantar pulang dengan salah satu mobil polisi. Val melepaskan tanganku dan memelukku, berbisik semuanya baik-baik saja. Begitu pintu mobil tertutup, aku hanya menatapnya, menatap kerumunan orang yang mencoba membereskan kekacauan,dan entah menatap apa lagi.

Aku mencoba melihat Chelsea terakhir kalinya, namun yang kuingat hanyalah sebuah kantong putih.

***

"Mau menyisir rambutku?" Aku menyodorkan sebuah sikat rambut ke arah Amy. Ia menoleh dan aku melihat matanya yang memerah.

"Tentu"

Amy menyisiri rambutku. Hening. Aku mencoba menghiburnya.

"Kau ingat bagaimana Chelsea mengerjai Mr. Langston?"

"Ya..mana bisa aku melupakannya. Ia mengguyur guru kesenian itu dengan adonan tepung karena memberinya nilai D untuk nilai memyanyi" Amy terkikik geli.

"Dan bagaimana sesudah itu Chelsea di skors selama seminggu tapi ia justru gembira karena saat itu ada diskon besar-besaran di mall?" Aku menambahkan. Amy tersenyum lagi.

Reversed TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang