Dua Puluh Dua

1.7K 150 0
                                    

Aku masih berlari. Pikiran berkecamuk di dalam otakku. Penjelasan Valerie hampir menjelaskan semuanya. Kaum kami ternyata mempunyai musuh bernama Jinx. Kaum yang membawa nasib buruk atas kami, membuat kami dengan mudah terlibat dalam kematian. Kabar buruknya lagi, Val adalah seorang Jinx.

Aku tidak bisa bernapas, dadaku terasa sesak. Tidak mungkin! Aku mengulang-ulang kalimat itu, Val adalah seorang Jinx, sampai kalimat itu tidak berarti lagi. Aku mengingat kembali kejadian-kejadian buruk yang menimpaku. Kecuali kematianku yang pertama. Kecelakaan bus itu, kematian Chelsea, kecelakaan di tangga rumah Val dan kecelakaan Neal semuanya terhubung ke titik yang sama, dan titik itu adalah Val.

Ia selalu ada di setiap kecelakaan yang kualami.

Aku mengerti sekarang. Val menjauhiku bukan karena ia membenciku, melainkan karena ingin melindungiku. Ia tak punya kuasa atas keahliannya dan setiap kematian yang kualami karenanya, bisa jadi kematian terakhirku. Aku berhenti berlari dan memegangi punggung leherku. Memar itu membuka mata Val pada kenyataan ini. Entah sejak kapan Val mengetahuinya, aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah betapa bodohnya diriku.

Aku mengambil handphoneku dan melihat lima pesan suara yang ditinggalkan oleh Neal. Semuanya kurang lebih berbunyi hal yang sama. Aku mendengarkannya

'Rere, dimana kamu? Apa yang terjadi? Sewell meneleponku dan katanya kau melarikan diri.. Hubungi aku, oke?'

'Rere, kami sementara mencarimu, kumohon angkatlah..'

'Ayolah Rere, kau bisa bicara denganku. Aku mengkhawatirkanmu, hubungi aku..'

Aku mendesah dan melanjutkan langkah kakiku. Aku tidak tahu aku dimana, aku hanya asal berlari saja dan aku tidak peduli lagi. Pikiranku berlanjut

Antara aku atau Val yang akan mati.

Dari situasiku, tentu saja aku jauh lebih unggul, walau Val berhasil meninggalkan bekas luka padaku. Kematian Val adalah hal terakhir yang kuinginkan terjadi. Tapi, bagaimana caranya aku harus meninggalkan dunia ini selamanya? Aku selalu ditarik kembali, kecuali...

Aku melihat jalan raya yang cukup ramai. Tanpa sadar, kakiku sudah melangkah ke pinggirnya dan menunggu. Makin sering aku mati, makin cepat aku mati sungguhan. Dengan demikian, Val akan bisa hidup lebih lama dariku. Dengan demikian, kutukan itu akan berakhir. Kenapa aku tidak mulai sekarang saja? Ya benar. Sekarang saja.

Aku mendengar suara yang kubenci dan aku tersenyum. Klakson truk. Ini dia kesempatanku. Aku menunggu truk itu mendekat dan tanpa ragu, aku melompat ke depannya. Lalu aku merasakan badanku terlempar.

Dalam sekejap, aku terkapar di aspal yang keras yang hangat

***

Aku membuka mataku dan mengedip-ngedipkannya, mencoba menyesuaikan dengan cahaya yang terpancar dari langit. Aku takjub, kecuali sisi badanku yang menghantam aspal, tidak ada lagi bagian yang sakit. Apakah pemunduran waktu sudah tidak menyakitkan lagi? Aku menyadari ada kerumunan orang yang memperhatikanku dan melihat wajah yang ku kenal di sana. Itu Neal.

Apa yang terjadi?

Aku mencoba berdiri dan Neal otomatis membantuku. Aku melihat truk yang menjadi sasaranku, sudah berhenti ada kerumunan lain yang mengerubungi hidung truk itu. Oh tidak.

"Aku mencoba menghentikannya Rere, tapi ia terlalu cepat" gumam Neal.

Aku merangsek maju menembus kerumunan orang itu dan aku melihat sosok Val di atas aspal, dengan darah dimana-mana. Aku memyadarinya, aku tidak pernah mati, Val mengorbankan dirinya, mendorongku sehingga dialah yang tertabrak. Aku menjerit.

"Val!!" Aku langsung berlutut di sampingnya, tidak memedulikan orang-orang yang mencegahku. Aku menyandarkan telingaku ke dadanya, berharap mendengar detak jantungnya yang kuat dan mantap. Aku memang mendengarnya, tapi detak itu sudah mulai melemah. Val sekarat dan di ambang kematian. Aku mengguncang-guncang tubuhnya berharap bisa mengembalikan setengah nyawanya.

"Jangan pergi Val!! Dasar bodoh!! Jangan tinggalkan aku!!" Aku kehilangan akal sehatku sekarang. Neal menarik lenganku mencoba menenangkanku. Aku tersentak. Neal, dia bisa menolongku.

Aku menariknya keluar dari kerumunan dan menjauhi tempat kejadian. Aku bergerak dengan terburu-buru dan hampir terjungkal beberapa kali. Setelah tiba di sebuah hutan kecil di seberang jalan, aku langsung mengutarakan rencanaku.

"Bunuh aku Neal" perintahku. Ia tercengang.

"Kumohon Neal, bunuh aku sekarang!" Makin banyak waktu terbuang, makin jauh kesempatanku menolong Val.

"Tidak mau Rere" ia mendorongku pelan.

"Tidak, kau tidak mengerti. Aku bisa menolongnya asal kau membunuhku. Percayalah"

"Aku tidak mau. Bagaimana kalau kau gagal? Aku tidak akan melakukannya Rere"

"Aku harus mencoba. Aku bisa. Kau bilang kau mempercayaiku, mana buktinya?!" Aku frustasi sekarang. Neal hanya membuang-buang waktuku. Ia terdiam sebentar lalu menggeleng pelan

"Maaf, Rae" ia menyebutku dengan 'Rae'. Artinya dia serius. Aku menghela napas.

"Baiklah, aku akan mencari sesuatu yang bisa membuatku mati. Terima kasih untuk 'bantuannya'" kataku sarkastik dan melangkah pergi.

Lalu Neal, menarik tanganku dan menyandarkanku ke pohon terdekat.

"Kau tahu aku tidak bisa membiarkanmu melakukan itu Rae" katanya

"Lepaskan aku! Aku harus menolongnya!! Aku tidak bisa kehilangan dirinya!!" Aku menjerit-jerit, airmataku nyaris tumpah. Bayangan kematian Chelsea kembali merasuki alam bawah sadarku. Val tidak akan selamat. Ia akan tewas seperti Chelsea.

"Aku tidak bisa Rae!!" ia mulai berteriak

"Memangnya kenapa?!! Apa urusanmu??!!" Aku memberontak dengan liar.

"Karena aku menyukaimu Raellene!!" Ia berteriak marah. Aku berhenti berontak dan melihat wajah Neal yang sudah merah padam, entah karena malu atau marah. "Aku mencintaimu" ia berkata lebih pelan sambil menyibakkan rambutku ke belakang telingaku.

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Neal menyatakan perasaannya padaku dan semakin aku berlama-lama, Val semakin terlepas dari genggamanku. Aku menggemgam lengan Neal yang menahanku, menunduk

"Rae.." Ia memanggil namaku dengan lembut. Dan aku mengangkat wajahku, terisak-isak sampai badanku gemetaran. Aku yakin di titik ini, aku sudah kehilangan Val. Aku sudah kehilangan hidupku. Neal memandangku dengan penuh kesedihan lalu ia mencium puncak kepalaku. Aku masih menangis.

Lalu aku merasa sesak napas. Sesuatu menjerat leherku. Aku melihat Neal yang memandangku dalam-dalam dan menahan napasnya. Jemarinya melingkar di leherku dan aku makin mencengkeram lengannya. Naluriku sebagai makhluk hidup bereaksi, aku menggapai-gapai mencari oksigen. Pandanganku mulai memburam dan aku bisa melihat airmata Neal meluncur turun ke pipinya.

Lalu semuanya menjadi gelap.

Dan jantungku berhenti berdetak.

Reversed TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang