Delapan Belas

1.7K 153 1
                                    

Hari-hariku berlanjut tanpa Val. Amy kembali normal semenjak hubunganku dan Val retak dan tampaknya ia puas dengan teorinya yang terbukti benar. Tapi, ia tetap prihatin untukku. Aku juga tidak sepenuhnya rela walaupun aku tahu Val sudah muak padaku. Di tiap kesempatan aku pasti memcari sosoknya. Kadang-kadang ia sedang menatap lokernya, memainkan iPhonenya, adapula waktu ia baru keluar dari ruang ganti cowok, telanjang dada dan rambut hitamnya berkilau karena basah oleh keringat.

Walaupun hanya sekilas, tapi itu sudah cukup bagiku.

Apalagi selama ini ia selalu sendirian atau dikelilingi teman-teman cowoknya sehingga aku bisa bernapas lega. Bisa dibilang aku lebih memikirkan Val sekarang daripada kematian. Selain itu, aku juga memikirkan sesuatu yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.

Val membenciku karena keahlianku mencurangi kematian dan itu merupakan kutukan dari nenek moyangku. Yang namanya kutukan pasti ada solusinya kan? Aku pernah mendengar istilah 'lepas dari kutuk'. Kalau itu memang ada, mungkin aku bisa terlepas dari kutukan ini dan hidup normal seperti manusia biasa. Dan tidak ada alasan bagi Val untuk membenciku.

Cara mencari jawabannya? Di era modern ini, tentu aku bisa memanfaatkan internet. Perpustakaan sekolah kami memiliki beberapa unit komputer. Murid-murid bisa memanfaatkanya semaksimal mungkin. Aku bertekad akan mencarinya di jam istirahat nanti.

***

Aku tak menyangka perpustakaan ternyata cukup ramai. Beberapa unit komputer sudah terpakai. Tersisa tiga tempat. Dua di barisan dinding dan satu di pojok. Berdasarkan materi yang ingin kutelusuri, aku memilih tempat di pojok. Walaupun tidak sering menggunakan komputer, aku masih ingat cara memakainya. Aku mempelajarinya dari SMP. Setelah masuk ke search engine, aku mengetik kata-kata kunci seperti manusia abadi, immortal, panjang umur, legenda, sejarah, mitos dan sebagainya.

Hasilnya ternyata cukup banyak. Aku membuka tiap situs dan mengenceknya satu per satu. Tidak banyak yang berguna. Sebagian besar membahas tentang vampir. Suara batuk yang berat mengangetkanku.

"Hai" kata suara itu. Aku menoleh dan melihat seorang cowok yang jangkung, berambut cokelat dengan gaya ala Justin Bieber, serta kulitnya yang putih. Ia tersenyum dengan ramah.

"Kau memakai tempatku" katanya lagi.

"Maaf, tapi aku tidak tahu kalau tempat ini ada yang punya. Aku kira lowong sehingga aku memakainya" kataku dengan gugup. Ini pertama kalinya aku menggunakan komputer umum, aku tidak tahu kalau ada aturannya.

"Tidak apa-apa" ia tersenyum lagi "biasanya aku meninggalkan tandaku disini tapi hari ini tidak. Rupanya aku sedang sial karena kau kebetulan memakainya. Kau tidak sering ke sini ya?"

Wow, ramah dan cerewet. Aku mengangguk. Ia membungkuk sedikit sehingga matanya sejajar dengan layar

"Dan kau tipe gadis-gadis yang suka dengan imajinasi seperti itu ya?" Cowok itu menunjuk layar dengan dagunya. Aku dengan panik langsung menutup layar dengan kedua tanganku. Ia tertawa.

"Tidak usah malu seperti itu. Pembicaraan tentang hal-hal itu sedang naik daun kok" ia tertawa lagi.

"Eh..tidak.. Ini" otakku berputar mencari alasan " tugas seni!" Aku mengangguk penuh semangat.

"Aku gagal dalam pelajaran menyanyi sehingga Mr. Langston menyuruhku untuk membuat naskah drama dengan tema makhluk gaib. Jadilah aku disini untuk mencari inspirasi"

Cowok itu termenung sebentar. Aku pikir ia tidak percaya dengan penjelasanku.

"Yah... Mr. Langston memang menyebalkan dalam soal tugas" alisnya berkerut. Ia memandangku sejenak lalu mengulurkan tangannya.

"Hudson. Neal"

Aku memandang tangannya dan wajahnya bergantian. Ia benar-benar manusia kelebihan senyum. Aku menyambut uluran tangannya.

"Sullivan. Raellene"

"Oh!" Ia melepas tangannya dan merogoh ke dalam kantong celananya yang agak kedodoran. Ia mengeluarkan dua kaleng kopi dan salah satunya di serahkan kepadaku.

"Vending machine di kantin agak payah. Aku sudah memasukkan uangku namun tidak ada yang keluar. Aku memutuskan untuk memberinya pelajaran sedikit dan akhirnya mesin itu memberiku dua kaleng. Kurasa alam semesta mengetahui kalau aku akan bertemu cewek hari ini"

Aku melongo

"Ini ambillah. Untukmu Raellene"

Aku menerima kaleng yang sudah disodorkan di depan hidungku " ah..terima kasih..eh.. Neal"

"Aku tidak tahu apakah kau suka kopi atau tidak Raellene.. Tapi hanya itu yang kudapat"

"Ehm.. Tidak. Aku suka kopi" aku memberinya senyum tulus "dan kau bisa memanggilku Rae"

"Rae? Rasanya agak..."

Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, bel tanda istirahat selesai berbunyi. Aku buru-buru bangkit dan memberi tepukan ramah ke punggung cowok bernama Neal itu.

"Senang bertemu denganmu. Tapi aku harus segera masuk. Mr. Harrison tidak mentolerir murid yang terlambat. Sampai jumpa"

"Sampai jumpa Raellene!"

***

Aku baru saja keluar dari ruang ganti dan menyadari satu hal. Aku tidak menyelesaikan misiku mencari tahu tentang asal-usul yang akurat tentang Underhand. Semuanya gara-gara cowok yang kelewat ramah itu, aku jadi gugup sehingga lupa akan hal itu. Pokoknya hari ini aku harus menemukan sesuatu. Sekecil apapun itu. Aku membuka lokerku yang berantakan, hendak menyimpan handuk kecil yang penuh keringat.

"Hai Raellene!!"

Aku menoleh. Neal, masih dengan celananya yang kedodoran sudah muncul di sebelahku dan bersandar di deretan loker

"Hai... Neal..." Aku membalasnya dengan ragu. Kalau dibandingkan dengan Val, Neal memang tampan dari sisi yang lain, tapi dia benar-benar tidak keren.

"Kemarin kau terburu-buru sekali..Habis berolahraga ya? Kenapa rambutmu tidak dikuncir? Apa kau tidak kepanasan?" Ia menyentuh rambutku dan sontak aku melangkah mundur, mengambil jarak aman. Memberi tatapan tajam ke arahnya.

"Aku tidak suka rambutku dipegang"

"Maaf Raellene..aku tidak tahu"

"Sudah kubilang panggil saja aku Rae"

"Rae.. Rasanya tidak pas.. Rae.. Rae.." Ia mengulang-ngulang namaku, alisnya bertaut seakan-akan berpikir. Aku memutar bola mataku dengan kesal.

"Oh! Aku panggil kau Rere saja ya" ia kembali mengeluarkan senyumnya yang lebar. Aku melotot. Rere?! Memangnya siapa dia sampai membaptis namaku dengan sembarangan. Aku membanting pintu lokerku sehingga ia terlonjak

"Jangan seenaknya ya, aku bilang panggil aku Rae"

"Rere lebih bagus"

"Memangnya kamu siapa sampai berhak mengubah namaku?"

"Temanmu" ia kembali tersenyum "aku ingin menjadi temanmu"

"Memangnya kau tidak punya teman lain?" Aku mendengus

"Tidak ada yang semanis dirimu" ia menunjuk wajahku. Senyumnya masih terpasang di wajahnya. Aku tidak bisa menyembunyikan pipiku yang memerah.

"Kalau kau ingin berteman denganku, panggil aku Rae" aku bersedekap. Ia mengangkat bahu

"Aku lebih suka dengan nama Rere"

"Sesukamu sajalah" aku menyerah. Melihat dari sikapnya, ia adalah anak yang keras kepala. Satu-satunya cara adalah mengikuti saja apa maunya supaya ia diam. Ia bertepuk tangan penuh kemenangan. Aku tidak menggubrisnya dan mengunci lokerku ketika Val berjalan melewati kami.

Pandangannya lurus ke depan dan dingin. Aku menahan diriku untuk memanggil namanya, menahan diriku untuk melihatnya. Setelah beberapa saat, Neal masih mengoceh tentang sesuatu dan aku membalikkan badanku berharap Val masih ada di sana.

Ia memang disana, menatapku.

Lalu ia berbalik pergi.

Reversed TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang