37-Sibling's plan🎓

32 3 0
                                    

Aku hanya ingin melindungimu, itu saja. Selebihnya, ya apalagi jika bukan mencintaimu.

👑👑

Kesekian kalinya Tangguh menghela nafas. Dilihatnya kedua tangannya yang memerah, rasa pegal dan keram sudah dirasakan cowok itu sejak tadi. Dan mungkin tak lama lagi tangannya akan membengkak.

Sudah tidak terhitung ini percobaan ke berapa untuk membujuk Shina agar mau bicara padanya. Ia tau ini pasti sangat membuat gadis itu marah bukan kepalang, tapi setidaknya sudah cukup dengan berhari-hari tidak bicara atau bahkan saling melempar pandangan sinis saat berpapasan. Ayolah, mereka Kakak-beradik, tidak mungkin seterusnya akan seperti ini.

"Shin, udah berapa kali gue kaya gini? Cuma gue yang ikhlas dicuekin, terus mohon-mohon buat minta maaf sama lo. Coba liat Abang lo yang belagu itu — si Angkasa, mana mau dia kaya gini" dengan tangan yang sedikit kesemutan, Tangguh kembali mengetuk pintu kamar Shina.

"Gue minta maaf, gue tau ini salah. Tapi gue sama Angkasa butuh waktu buat bilang semuanya sama lo, seengganya sampe lo ngerti keadaan kita sekarang kaya gimana. Karena setelah lo tau semuanya, gue yakin lo gak akan merasa tenang. Terbukti sekarang"

Cowok dengan hodie hitam serta celana pendek itu membenturkan punggungnya pada pintu kamar Sang Adik. Entah Ia yang kelewat peduli atau apa, yang jelas Tangguh tidak terbiasa dengan sikap dingin gadis itu. Setidaknya Ia tau diri, Ia selalu menjahili atau sekedar menyuruh-nyuruh adiknya itu. Berbeda dengan Angkasa, yang terkesan cuek dan terkadang over protektif pada Shina.

"Ngapain lo disitu?" tanya Shina, dengan tangan yang membawa nampan berisikan Mie juga segelas minuman yang tengah Ia bawa. "Minggir," usirnya.

Hampir saja Shina menjatuhkan nampannya, jika dia tidak memegangnya dengan benar. Pasalnya, Tangguh tiba-tiba meraup kedua pipi gadis itu, hingga bibirnya mengerucut.

"Lo udah gak ngamuk lagi? Lo udah gak marah-marah lagi? Lo udah bisa nerima semuanya? Lo udah—"

"Gue akan nendang aset masa depan lo, kalo lo gak nyingkirin tangan lo sekarang juga" ancaman Shina membuat Tangguh refleks mundur beberapa langkah dari adiknya yang kejam itu.

Namun, pada akhirnya cowok itu dapat menghela nafasnya dengan lega. "Silahkan adikku yang jahanam," Ia membukakan pintu kamar Shina, dengan sedikit membungkuk layaknya seorang pelayan pada majikannya.

"Aneh" gumam Shina, seraya masuk ke dalam kamarnya. Tak lupa dengan kedua matanya yang mendelik tajam.

Tangguh mengekori gadis itu. Pandangannya tak lepas dari pergerakan sang Adik yang tengah menyimpan nampan dikarpet, dan juga gadis itu yang mulai menghidupkan Televisi di depannya.

"Mie nya cuma bikin satu doang?" tanya Tangguh basa-basi. Ia duduk menyila disamping Shina.

Tak ada jawaban, Shina justru sibuk memindah-mindahkan saluran yang ada dilayar besar itu.

"Kalo gak ada urusan, mendingan lo pergi deh" sarkas gadis itu. Moodnya masih enggan untuk berdekatan dengan kedua abangnya.

Ia sedikit tenang saat Angkasa memberi ruang untuknya agar dapat menerima semua kenyataan ini. Namun tidak dengan Tangguh. Setiap hari, jam, menit, detiknya selalu saja mengacau. Ia tau Kakaknya yang satu itu tidak terbiasa diabaikan olehnya. Tapi, untuk saat-saat seperti ini, Ia benar-benar ingin menghajar siapapun yang mengganggu moodnya.

Dari ujung matanya, Shina dapat melihat Kakaknya itu bergeser kebelakang tubuhnya. Kemudian, kedua tangan Tangguh yang menganggur berpindah pada pundak Shina. Dipijatnya pundak gadis itu.

RASA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang