35. Permintaan maaf.

100 4 0
                                    

Beberapa jam kemudian ....

Gadis cantik itu berjalan dengan langkah cepat dan tidak memedulikan orang-orang yang mengagumi kecantikannya. Ketika berada di depan pintu ruang VIP, dirinya sempat menghela napas panjang.

Arasya terdiam sejenak, semua kenangan tentang Veni kembali teringat. Dia sudah dikhianati berkali-kali, tetapi masih mau mendonorkan darah. Tidak mudah untuk memaafkan Veni untuk ke sekian kali.

Tak!

Suara gesekan pintu terdengar jelas hingga membuat orang di dalam ruangan menoleh secara perlahan. Arasya tidak mau memulai pembicaraan dan hanya tersenyum kecil.

Arasya menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada seorang pun di dalam ruangan ini. "Rafael mana?" tanya Arasya.

Veni terlihat seperti enggan menjawab. "Entah. Mungkin udah mati," balasnya.

"Pfftttt ... jangan bercanda!" Arasya terus menahan tawa saat melihat wajah Veni berubah menjadi merah padam. "Tumben dia gak ada di samping lo?"

"Tadi, polisi datang membawa dia," jawab Veni.

Arasya langsung menoleh dengan ekspresi tidak percaya. "Lo melaporkan Rafael?"

Veni pun mengangguk. Wajahnya terlihat sangat yakin dan mantap.

"Gila, kerasukan apa lo?" lanjut Arasya dengan nada tinggi.

"Hehehe ... beberapa polisi menemukan pisau di kamar gue. Itu adalah bukti kuat karena sidik jari Rafael ada di pisau."

Arasya malah nyeletuk, "Kemari lengket kayak perangko. Sekarang malah saling lapor ... kayak pernikahan artis aja."

Veni tidak menjawab. Wajahnya terlihat cukup memelas. Kalau boleh jujur, dia merasa sangat bodoh. Dia menganggap sahabatnya sendiri sebagai musuh dan menganggap seorang musuh sebagai calon suaminya sendiri.

"Dia pantas di hukum, Sya. Dia udah mengadu domba lo sama gue." Nada bicara Veni terdengar amat lirih.

Arasya melirik dengan ekspresi penasaran. "Lah? Kok mengadu domba? Lo sama gue manusia, bukan mbe badot," jelasnya.

Veni terkekeh saat menjawab, "Laki-laki yang menyakiti perasaan perempuan, gak berhak bahagia."

Suasana berubah menjadi sunyi. Arasya termenung karena memikirkan kejadian di masa lalu. Itu adalah masa paling sulit karena Veni semakin menjauh darinya.

"Iya, gue tahu kalau Rafael sering sakiti perasaan lo," ungkap Arasya dengan nada lembut.

"Firasat lo ternyata benar, Rafael itu bukan orang baik," timpal Veni. Wajahnya semakin murung.

"Lo yakin mau memenjarakan dia?" tanya Arasya.

Veni kembali mengangguk. "Yakin, Sya. Dia udah mengambil separuh kekayaan gue," ujarnya.

"Buset. Kok, bisa?"

"Entahlah, bilangnya mau bisnis ... ternyata buat selingkuh di belakang gue."

"Memang, bajing*n!" desis Arasya sambil melipat kedua tangan.

Ketika menatap tangan kanan Arasya, Veni merasa sedikit kagum karena terlihat putih bersih. Dia menyatukan kedua alis saat tidak sengaja melihat sesuatu.

"Lo yang mendonorkan darah buat gue, 'kan?" tanya Veni dengan ekspresi pucat.

Arasya menoleh pada tangan kanannya. Di sana terdapat perban karena mendonorkan darah. Dia segera mengiyakan dengan cara mengangguk pelan.

"Betul. Darah gue diambil kurang-lebih 470 ml," ungkap Arasya.

"Terima kasih!" Veni berhenti tersenyum dan wajahnya terlihat bersalah. "Maaf, gue selalu jadi beban buat lo."

SKANDAL KAMPUS. (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang