14. Pertengkaran mereka.

180 9 4
                                    

⚠️ WARNING : BANYAK KALIMAT KASAR!

Jangan mendekat kalau masih belum bisa menyaring kalimat yang baik serta buruk!

Jangan mendekat kalau masih belum tahu, mana yang boleh dicontoh dan mana yang harus dihindari.


Pada pukul 09.00 WIB, Arasya pergi menuju ruangan Ibu Hasmi. Katanya, ada keperluan mendadak. Gadis ini hanya bisa menurut.

"Permisi, Bu!" ucap Arasya ketika sudah berada di ruangan tersebut.

Ibu Hasmi segera menoleh sambil tersenyum hangat. "Baru datang?"

"Iya, sesuai dengan penglihatan Ibu," balas Arasya dengan begitu enteng.

"Sini, duduk, Sya!" pinta Ibu Hasmi dengan senyum yang sama.

Arasya mengangguk tanpa membalas senyuman tersebut. Sejak pagi, dia terus tersenyum. Bibir seksinya terasa kering kalau membalas senyuman semua orang. Setelah Arasya duduk, Ibu Hasmi langsung menyodorkan selembar kertas.

"Ini adalah nilai bahasa indonesia kamu, Arasya. Di sela kertas itu, ada nomor Ibu. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi Ibu aja!"

Tangan kanan Arasya meraih kertas tadi, lalu memeriksanya. Ternyata nilai bahasa indonesia ini cukup besar dan lebih besar daripada mata pelajaran lain.

"Hm, lumayan tinggi. Baik, terima kasih, Bu!"

"Sama-sama," balasnya dengan spontan, "Arasya ... Ibu tebak, kamu adalah anak ambisius, betul?"

"Enggak ambisius banget, sih. Cuma bisa pelajaran indonesia aja, Bu. Kalo ngerjain MTK, malah berubah jadi anak SD yang gak bisa apa-apa."

"Hahaha ... betul, Sya! Kamu sama Ibu Hasmi itu sebenernya serupa. Ibu pun kurang jago ngerjain MTK."

"He, he, gitu, ya, Bu?"

"Iya, bahkan kita sama-sama cantik. Betul nggak, Sya?" tanya Bu Hasmi dengan penuh percaya diri.

Gadis ini hanya terdiam, lalu mengangguk. Tidak mungkin dia asal jawab. Bisa-bisa, nilainya kembali terancam.

"Yang luarnya cantik, belum tentu hatinya juga cantik," celetuk Arasya dengan nada kecil. Untungnya, yang bisa mendengarkan ocehan tadi hanya Arasya.

Ibu Hasmi mencubit pipi Arasya dengan perasaan gemas, lalu berujar, "Pertahankan prestasi kamu, ya! Ibu yakin, kamu enggak kalah jenius dari Alvarios."

"Siap, Bu. Sekali lagi, terima kasih," jawabnya dengan senyum tipis.

Dosen berusia empat puluh tahun ini mengangguk. Tangan kirinya menarik beberapa buku dari rak, kemudian menyodorkannya ke arah Arasya.

"Arasya, bisa bantuin Ibu? Tolong simpan buku-buku ini ke ruang kelas. Bebannya agak berat," perintah Ibu Hasmi, "kalau mau membawanya, kamu bisa mendapat tambahan nilai."

"Bu, saya bersedia."

Ibu Hasmi kembali tersenyum. "Baik, nanti kamu sampaikan juga ke semua Mahasiswa di kelas untuk kerjakan soal nomor satu sampe enam puluh, ya?"

"Banyak banget, Bu, kayak beban hidup Pak Roni aja," celetuk Arasya.

"Ha, ha, jangan bercanda terus! Cepat bawa tumpukan buku itu! Nanti waktu pelajaran Ibu ke buru habis."

"Ibu enggak mau bantuin saya?" tawar Arasnya dengan ekspresi memelas.

"Enggak. Kalau mau dibantuin Ibu, nilai kamu enggak akan ditambah," sela Ibu Hasmi dengan senyum jahil.

"Eh, jangan dong, Bu! Iya, Arasya bawain ke kelas, kok. Ke Mars juga bisa, Bu."

"Ha, ha, dasar!"

Semua orang yang mengobrol dengan Arasya pasti akan tersenyum atau malah tertawa terbahak-bahak. Ibu Hasmi saja merasa nyaman kalau mengobrol dengan gadis bar-bar, tetapi lumayan pintar.

SKANDAL KAMPUS. (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang