Semestinya, Azura menolak bertemu dengan Bas di Arunika. Tidak, bukan karena dia tidak ingin bertemu dengan Bas. Hanya saja, waktunya terlalu mendadak. Dia tidak membawa baju ganti. Sungguh, bertemu dengan Bas sepulang kerja bukanlah pilihan yang tepat. Baju yang dikenakan Azura kusut dan bau. Wajahnya tidak segar dengan kantong mata hitam seperti mata panda.
Apa dia harus membatalkan pertemuan mereka? Tapi, bagaimana caranya? Sial. Dia tidak punya kontak Bas. Mereka belum menukar nomor telepon. Satu-satunya cara untuk membatalkan pertemuan adalah dengan tidak datang ke Arunika. Kabur.
Namun, itu perbuatan seorang pengecut. Azura tidak seperti itu.
Lagi-lagi, Azura mendesah. Apa yang sedang dia lakukan?
Kedua tangan Azura bertumpu pada sisi meja di toilet. Meja itu terbuat dari kayu berwarna cokelat matang memanjang dan di hadapannya terdapat kaca besar yang menampilkan wajah Azura yang ... kusut masai.
Azura mendesah, lagi dan lagi.
Di hadapan Azura, di atas meja, terdapat bedak, lipstik, tabir surya, pelembab, tisu dan sisir. Perempuan itu baru saja mencuci wajahnya, kemudian mengeringkannya dengan tisu dan mencoba memperbaiki wajahnya yang kusut. Setelah melakukan itu, Azura memandangi wajahnya lagi. Dia mencoba menggerai rambutnya, lalu mengikatnya kembali. Lalu, Azura membetulkan letak kemejanya dan mengenakan jaket.
Setelah merasa puas dan merasa lebih baik. Azura keluar dari toilet. Dia tidak langsung menuju tempat parkir, melainkan duduk di ruang tunggu yang ada di gedung kantornya.
Sekarang pukul setengah empat pagi. Azura membunuh waktu sampai jam Arunika buka.
***
Bas sampai di pintu Arunika pukul enam pagi. Dia jelas mengetahui waktu itu dengan melirik jam dinding di Arunika. Di belakang kasir, Tama sedang sibuk melayani pelanggan yang datang.
Hari ini, hari Selasa pagi. Arunika tidak seramai ketika hari Sabtu.
Menurut chalkboard di samping pintu Arunika, hari ini Tari menyediakan cheese steak sandwich. Tidak ada menu pendamping lainnya. Untuk minuman, tetap sama. Arunika hanya menyediakan kopi dan teh.
Menurut Bas, kopi dan teh Arunika tidak ada yang istimewa. Mereka menyajikan kopi hitam dengan gula, begitu juga dengan teh mereka. Arunika menggunakan teh melati dan gula. Menu paling menonjol dari Arunika hanya roti tangkup mereka. Tidak ada yang lain.
Dari Tama, Bas mengetahui Arunika pernah viral di media sosial. Banyak warga Bandung yang memadati Arunika. Itu terjadi selama sepekan dan membuat Tari jatuh sakit karena kelelahan. Lalu, Arunika tutup selama dua pekan atas permintaan Tari. Tama sudah menawarkan untuk menambah pekerja di Arunika, tetapi Tari menolak. Dia tidak ingin Arunika terlalu ramai, sebab itu akan mengurangi kenikmatannya bekerja.
Ketika Tama bercerita pada Bas, Bas mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin ada manusia-manusia seperti Tari dan Tama? Mereka memiliki kesempatan untuk sukses di bidang kuliner, tetapi justru menolaknya.
Lalu, Bas bertanya, "Apakah penghasilan dari Arunika cukup untuk membiayai hidup kalian?"
Dengan santai, Tama menjawab, "Tidak." Kerutan pada dahi Bas semakin dalam. Tama memiliki tubuh jangkung, berhidung mancung, dengan tatapan mata tajam dan alis tebal. Suami Tari itu kemudian menjelaskan, "Aku bekerja di tempat lain juga. Sebagai programmer perusahaan di Singapura. Secara remote."
Baiklah, penjelasan singkat itu bagi Bas sudah cukup menjelaskan semuanya. Arunika hanya tempat bermain-main bagi Tama dan sekadar hobi bagi Tari.
Saat ini, Bas duduk di tepi jendela besar di Arunika. Tepat di sebelahnya, matahari mulai menyusup perlahan. Dia melirik jam dinding sekali lagi. Tapi, Azura belum datang. Beberapa kali pintu Arunika terbuka, Bas menengok. Bukan Azura.
"Kamu mau pesan sekarang?" tanya Tari sambil melambaikan tangan ke arah Bas. Dia baru saja mengantarkan pesanan roti tangkup dan secangkir teh ke meja tidak jauh darinya.
Bas tidak langsung menjawab. Dia berpikir sebentar. Bas sengaja ingin memesan begitu Azura tiba. Tapi, perempuan itu tak kunjung datang. Bas mendesah.
"Ah, selamat datang di Arunika!" teriak Tari, tepat ketika Bas ingin bicara. Bas mengikuti arah pandang Tari. Di ambang pintu, Azura muncul dengan senyuman. Mata Azura mencari-cari seseorang, Bas melambaikan tangan. Tari melihat ke arah Bas dan Azura secara bergantian. "Kalian janjian rupanya."
Kedua orang itu tersenyum malu-malu.
"Jadi, mau pesan apa?" tanya Tari. Lagi-lagi, mereka menanyakan hal yang sudah jelas. "Ah, iya. Pasti cheese steak sandwich dan dua kopi." Setelah berkata demikian, Tari menuju dapur.
Azura berjalan perlahan ke arah Bas, dia menarik kursi di seberang Bas dan duduk di sana. "Maaf, aku lembur." Tentu saja Azura berdusta. Dia tidak lembur. Dia sengaja datang terlambat. Dia tidak ingin terlihat menunggu Bas. Itu adalah sebuah trik yang dilakukan Azura agar tidak terlalu kentara mengenai ketertarikannya pada Bas dan mengenai ... keraguannya.
"Nggak masalah," ucap Bas. "Aku baru datang, kok."
"Baguslah." Azura meletakkan tas selempangnya di sandaran kursi. Dia tersenyum ke arah Bas.
"Omong-omong," kata Bas. "Kita belum bertukar nomor ponsel."
"Hah?"
"Nomor whatsapp."
Azura mengutuk dirinya sendiri, kenapa dia menjadi begitu canggung di hadapan Bas? Sebenarnya, apa yang terjadi dengannya? Dia merasa seperti orang asing.
"Boleh, 'kan?" tanya Bas.
Azura menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya. Dia harus lebih santai dari ini. "Tentu." Azura mengulurkan tangannya, meminta ponsel Bas. Bas menyerahkan ponselnya. Azura menuliskan nomornya dan namanya di ponsel itu.
Bas menerima ponselnya kembali dan melakukan panggilan ke nomor Azura. "Itu nomorku," katanya sambil mengantongi ponselnya.
"Oke," balas Azura sambil menyimpan nomor Bas. Lalu, dia memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Kamu sering masuk angin?" tanya Bas tiba-tiba. Azura membulatkan kedua matanya. "Kemarin, kulihat kamu beli obat masuk angin."
"Ah, iya," sahut Azura. "Udara malam sering bikin masuk angin."
"Hem, ya. Kamu kerja shift malam."
Tari mendekati mereka. Perempuan itu membawa dua roti tangkup, dua cangkir kopi, dan dua gelas air putih.
"Selamat menikmati!" seru Tari sambil sedikit membungkukan badannya.
"Terima kasih, Tari," tukas Bas.
"Terima kasih," ucap Azura.
Tari meninggalkan mereka berdua, kemudian beringsut ke sisi suaminya. Suami istri itu kemudian melihat ke arah Bas dan Azura. Melihat keduanya makan dengan lahap roti tangkup mereka.
Baik Tama maupun Tari sudah melihat kejadian semacam ini. Dua orang yang dipersatukan oleh roti tangkup Arunika, duduk di sebelah jendela besar dengan disinari matahari pagi. Sebuah pemandangan yang sering mereka lihat. Tapi, ketika melihat Azura dan Bas. Mereka tahu, perjalanan kedua manusia itu tidak akan mudah.
Pada akhirnya, Azura adalah orang pertama yang mundur dalam peperangan.
Tama dan Tari tahu. Sejak awal, mereka sudah tahu.
--------------------------------
Bonus foto cheese steak sandwich
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...